top
down

MANUSIA LANGIT

Diposting oleh Tarbiyatun Nisaa - Senin, 05 Juni 2017, 12.59 Kategori: - Komentar: 0 komentar


Serial Kajian Psikologi Qur’an
“MANUSIA LANGIT”
Oleh Iyus Khaerunnas Malik
 (Wakil Ketua Yayasan Wakaf Tarbiyatun Nisaa Bogor)


Dalam hikayat shufiyah dijelaskan, bahwa sejatinya manusia adalah mahluk “langit” yang diturunkan ke bumi bukan sekadar mahluk bumi yang nantinya kembali ke “langit”. Tiada manusia “diturunkan” ke bumi (baca: dilahirkan) kecuali untuk mengcopy-paste peradaban syurga (jannatunna’im) yang penuh kenikmatan, kebahagiaan, kesejahteraan; tanpa rasa takut, gelisah, stres dan khawatir sedikitpun menghadapi gejolak kehidupan. Memang manusia diberi akal dan qalbu oleh Allah yang berfungsi untuk merenung dan berpikir, berkontemplasi dan berzikir dalam menghadapi romantika kehidupan yang ragam tantangan (multy-challanges) dan keharusan manusia untuk menjawabnya (response) dengan baik, benar dan tepat. Namun menyerahkan sepenuhnya kepada akal dan qalbu tanpa bimbingan wahyu (pesan-pesan Illahiyah; kitab suci) yang terjadi adalah ngawurnya pemikiran, terseok-seoknya perasaan, berkutatnya prasangka dan suburnyasyahwat kehidupan (syahwat budaya, ekonomi, sosial danpolitik) sehingga mewujudkan kehidupan baku-hantam (ba’dhukum liba’dhin aduwwun: homo homini lupus; bellum omnium contra omne); saling sikut, saling jegal, saling hasud, saling khianat (kal an’am balhum adhol: seperti binatang bahkan lebih buruk dari binatang) dst, pada gilirannya kearifan, keharmonisan dan keberkahan pun sirna ilang kertaning bumi.

Menurut Imam Ghozali, menyitir hadis Rasulullah saw, kenapa hati manusia disebut qalbu, karena kondisinya yang selalu bolak-balik, naik turun dan tidak ajeg. Begitulah qalbu tanpa bimbingan agama akan berjalan tanpa arah. Perlu dikuatkan dengan iman, ilmu, amal, ibadah, zikir dan doa—seperti doa ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala dinika (Duhai Allah pembolak-balik hati manusia mantapkanlah hati ini {istiqomah} dalam agamaMu).

Pepatah sufistik mengatakan... dunia lebih membutuhkan satu orang suci ketimbang seribu orang nalar. Orang suci yang dengan sinar ruhaninya mampu memberi efek kesejukan, kedamaian dan keindahan. Sementara orang nalar (yang tercerabut dari akar spiritualitasnya) lebih banyak manabur keangkuhan, kesombongan, kebencian dan egoisme sektoral. Dunia di tangan orang suci menjadi indah dan harmonis meski berbeda-beda namun di tangan orang nalar menjadi babak belur dan penuh kesenjangan. Orang suci membawa pesan-pesan langit untuk menjadi hukum kehidupan sementara orang nalar—dengan keangkuhan berpikirnya—mengatur kehidupan dengan daya pikir yang dipenuhi sak wasangka dan syahwat semata sehingga menyuburkan fahisyah dan kezaliman di dalam sistem kehidupan.

Dalam sejarah agama... paham dan kepercayaan manusia tanpa bimbingan wahyu (hidayatul irsyad) melahirkan animisme, dinamisme, totemisme dan naturalisme. Kepercayaan tersebut menggambarkan bahwa benda-benda (batu, pohon, air, gunung dsb), hewan-hewan tertentu (harimau, elang, garuda, beruang, serigala, dsb) dan fenomena alam (angin topan, gempa bumi, badai, kebakaran, banjir, tsunami, dsb)  masing-masing memiliki kekuatan gaib, magis dan supranatural sehingga harus diberi sesaji dan disembah-sembah. Dari sini muncul istilah dewa air, dewa laut, dewa api, dewa angin, dewa bulan dan dewa matahari. Karena matahari punya unsur-unsur mysterium, tremendum et fascinans (istimewa)—menurut Rudolf Otto, seorang sosiolog agama, makaiadijadikan sebagai dewa tertinggi dengan aneka sebutan seperti Ra, Zeus dan Indra. 

Demikian juga dalam kehidupan sosial,  bertumbuhnya sosialisme, kolektifisme, kapitalisme, skeptisisme, agnotisisme, liberalisme dst, pada gilirannya memunculkan ketidak-adilan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena berbasis pada siapa yang kuat itu yang menang (maafseperti dalam arena pileg dan pilpres kita sekarang terkadang siapa yang bermodal kuat (potensial sebagai) pemenang(modal duit, modal media, modal survey—mungkin juga modal manipulasi data, dsb).  Paham dan kepercayaan ini diluruskan oleh wahyu dengan cara diutusnya para Nabi dan Rasul—menurut hadis riwayat Imam Ahmad, jumlah Nabi mencapai 124 ribu Nabi dan Rasul mencapai 315 Rasul yang diutus ke seluruh pelosok bumi (QS 16 : 36), dan ditutup dengan kehadiran NabiMuhammad saw sebagai Khotamun Nabiyin (penutup para Nabi). Perhatikan ungkapan hadis berikut ini:

“perumpamaanku dengan para nabi adalah seperti perumpamaan seseorang yang membangun sebuah rumah. Dia menata dengan bagus dan sempurna. Kecuali masih ada satu bata. Banyak orang masuk ke dalam bangunan tersebut dan mengaguminya seraya berkata: kalau seandainya bukan karena tempat bata itu (masih kosong), maka akan jauh lebih bagus. Selanjutnya Rasulullah saw. Bersabda: Aku adalah yang (diibaratkan) sebagai bata tersebut. Aku datang sekaligus sebagai penutup para nabi.” (HR Jabir r.a. Kitab Shahih Muslim : 4240)

Siapa “Manusia Langit”

Istilah “manusia langit”—disamping istilah yang sangat sufistik, ternyata diinspirasi QS Al-A’raf {7} : 172... Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari sulbi mereka kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri (dan berfirman) ‘Bukankah Aku ini Robb kalian?’ Mereka semua menjawab, ya benar, kami semua bersaksi (bahwa Engkau adalah Robb kami). Beberapa kitab tafsir menyebut perjanjian primordial itu terjadi di alam ruh (tempat Adam bermula) sebelum ruh  ditiupkan ke dalam jasad (diturunkan ke bumi). Sebagian menyebut—termasuk dalam kajian tashawuf modern (Agus Mustofa 2003), bahwa akhirat itu sudah ada dan dunia ini bagian kecil dari akhirat (perhatikan QS 3 : 133) bahwa syurga itu seluas langit dan bumi. Luasnya langit dan bumi menurut ilmuwan antariksa berdiameter 30 milyar tahun cahaya. Sederhananya bintang yang paling jauh baru sampai cahayanya ke bumi pada kurun 30 milyar tahun cahaya. Itulah (kurang lebihnya) luas alam akhirat (?).

Perjanjian primordial itu terjadi di alam tersebut. Dengan demikian “manusia langit” adalah manusia fitrah (baca: suci) yang disabdakan oleh Nabi saw,bahwa tiap-tiap anak diahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka (peranan) kedua orangtuanyalah yang menjadikan mereka yahudi, nashroni atau majusi (HR Buchari).  Jadi ruh itu suci dan harus terus dirawat kesuciannya dengan buku panduanPenciptanya yaituAl-Qur’an melalui uswah hasanahRasulullah saw. Ibarat kendaraan bermotor sebutlah yamaha—cara merawat mesin,juga saat rusak—haruslah berdasarkan buku panduanpraktis produk yamaha. Kalau menggunakan buku lain, suzuki atau honda, maka alamat rusaklah motor tersebut.

Dengan demikian “manusia langit” adalah ungkapan majaz (simbolik) mengenai sikap dan perilaku yang Islami; sesuai dengan fitrahnya; sejalan dan selaras dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Perhatikan berikut ini... Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), yaitufitrah (agama) Allah yang telah Dia ciptakan manusia (selaras) atasnya. Tiada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum {30} : 30). Dengan kata laindinul Islam adalah dinul fitrah, dan manusia beriman kepada dinul fitrah disebut sebagai manusia fitrah sama dengan (=) manusia suci.

“Manusia Nalar”

Manusia punya akal dan qalbu sebagai alat untuk merenung dan berpikir. Kalau akal digunakan untuk berpikir analitik, maka qalbu (dengan unsur-unsur di dalamnya seperti lubb, shodr dan fu’ad) digunakan untuk berpikir kontemplatif. Berpikir analitik didasari hal-hal empirik (eksperimen, uji validitasdata dan fakta). Berpikir kontemplatif didasari hal-hal subyektif (perenungan intrinksik {ke dalam}, doa, zikir, ilham, firasat, intuisi, ramalan dst). Keduanya harus saling melengkapi karena masing-masing ada kurang dan lebihnya. Contoh, seorang cenayang (semacam paranormal) mendapat firasat (intuisi) bahwa jatuhnya pesawat MH370 ada di lepas pantai lautan hindia. Kebenaran intuisi  ini harus divalidasi dengan pelacakan  empirik ke lapangan. Jika tidak, jadinya sekadar mengawangatauangin lalusaja. Anehnya di negeri ini hal-hal yang bersifat kontemplatif (perenungan subyektif: ramalan) kadang diyakini kebenarannya tanpa uji validasi ke lapangan. Media cetak, elektronik dan audio-visual ramai memberitakan paranormal laku keras (bak kacang goreng) didatangi para caleg dan capres meminta doadanpetunjuk agarsukses dalam pencalegan dan pencapresannya. Mereka ada yang mengidentikkan dirinya sebagai dukun, orang pintar, titisan pajajaran; majapahit, dsb—bahkan tak sedikit—mengklaim sebagai ustad, kyai atau ulama dengan segala atribut kebesarannya.

Dalam sejarah diungkapkan, ketika Portugis menyerang Nusantara dengan kekuatan senjata meriam. Jelas meriam adalah senjata jarak jauh yang digunakan pada saat perang. Namun di Nusantara ada sebagian orang memperlakukan meriam sebagai senjata magis yang wajib dimandikan tiap malam jum’at kliwon dengan kembang tujuh rupa. Termasuk terhadap keris, kujang, badik, clurit dsb—seolah dengan begitu, Portugis dan Belanda jadi takut. Hasilnya 350 tahun kita dijajah (lebih kurang sepuluh generasi); waktu yang tidak sebentar.

Walhasil Barat yang bercirikan “rasionalitas angkuh” dengan persenjataan canggih (masa itu) dapat menaklukkan negeri-negerimuslim khususnya di wilayah Asia Tenggara. Akhirnya negeri-negeri jajahan dipreteli satu persatu dan dibagi-bagi (persis nasi tumpeng) untuk Inggris, Belanda, Amerika dan Portugis.Sementara sebagian penduduk negeri-negeri jajahan mengidapimperiority complex dan minder wardig (sindrom rendah diri) sehingga melahirkan generasi baru yang western minded-western oriented, merasa diri terhormat dan mulia jikalau mengekor ke Barat baik dalam pikiran maupun perilaku, secara lebih luas dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan hukum. Padahal Barat sekarang mengalami “sakit-sakitan” dan sebagian sudah sakarotul maut akibat kehidupan mereka yang sekular, liberal dan individualis—sebagai hasil daricara berpikir yang memberhalakan nalar-rasionalitas tadi—yangtercerabut dari akar spiritualitasnya.

Kritik terhadap Barat sudah lama menggema seperti Maurice Bucaielle, Roger geraudy, Jefry Langdan John Naisbit untuk menyebut beberapa nama. Oleh karenanya pada dekade 90-an, masyarakat Barat mulai menerima “kearifan Timur” meski tetap memusuhi Islam—sebagaimana tulisanSamuel P Huntington (penasihat Pentagon), dalam bukunya Who Are We? (2004): Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS—dan sebelumnya dalam The Clash of Civilization (1996), “Bagi Barat, yang menjadi musuh utama bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri.”

Ironinya makin Islam dimusuhi dan difitnah dengan kejimakin banyak masyarakat Barat yang masuk Islam, di Inggris, Prancis dan Amerika—untuk menyebut tiga negara, jumlah muslimnya  mencapai 20 hingga 50% lebih—sementara agama kristen dengan gerejanya makin sepi dan ditinggalkan. Wajar kalau seorang pakarsejarah, Emile Dermenghem (penulis The Life of Mahomet), menyebut Islam sebagai agama yang paling layakhidup di masadepandan di dunia modern.

Integrasi “Manusia Langit” dan “Manusia Nalar”

Indonesia membutuhkan “manusia langit” dan “manusia nalar” sekaligus. Namun manusia nalar yang berbasis pada iman dan taqwa, sehingga nalar yang dikembangkan berorientasi pada pembangunan peradaban syurga di dunia; terwujudnyaperasaan senang,  bahagia, sejahtera lahir dan batin; tiada rasa takut, gelisah, stres dan khawatir menghadapi perubahan zaman. Secara paradigmatik integrasi keduanya bermula dari perpaduan akal dan qalbu yang saling mengisi baiksecaraanalitik-rasionalatau perenungan kontemplatifnya sehingga padasaat melakonisatuperbuatan ukurannya tak sebatas “bisa dan tidak bisa”, tapi“boleh dan tidak boleh”, jugapenjelasanhikmah di balikitu. Ungkapan “Bisa dan tidak bisa” adalah bahasa pikiran, “boleh dan tidak boleh”: bahasa hukum (fiqh), danhikmah di balikitu (yang dirasakan) secarabatinadalahbahasahati. Contoh, bisa tidak kita makan babi? Jawaban pikiran, bisa! Jawaban hukum, tidak boleh! Bisa tidak seorang muslim kumpul kebo? Termasuk kawin mut’ah?  Jawaban pikiran, bisa! Jawabanhukum, tidak boleh! Dsb. di sinilah pikiran dan agama saling mengupas kenapa agama melarang makan babi? Kumpul kebo? Kawin mut’ah? Jelas ada hikmah di balik itu dan bisa dijelaskan secara analitik-rasional-ilmiah—dan (dalambahasaqalbu) bisa dirasakan maslahat dan keberkahannya di dalam batin.

Perhatikanfirman Allah dalamQS. Al-A’raf : 96: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.
Dan ditandaskan dalam QS At-Tholaq : 3:  “ Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiapsesuatu.”.

Menyatunya “Kepemimpinan Langit dan Kepemimpinan Nalar

Menyatunya “kepemimpinan langit” dan “kepemimpinan nalar” harus terjadi di negeri ini. Menurut para sejarawan, ekonom dan sesepuh NKRI, Indonesia sekarang telah menjadi negeri “tanggung” dan membingungkan, disebut negara agama bukan, negara sekular juga bukan, kesimpulannya negara “bukan-bukan”.  Jenis kelaminnya tidak jelas (bukan laki-laki bukan pula perempuan alias-maaf—banci!). Konstitusi kita menyebut negara pancasila dimana sila pertamanya “keTuhanan Yang MahaEsa” namun militansi kepada Tuhan dikebiri; umat Islam meminta hak menjalankan agamanya secara kaafah difitnah teroris dan dianggap musuh pancasila dan musuh bhinekatunggalika. Kekayaan sumber daya alam yang seharusnya domain negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran dankesejahteraan rakyat malah diobral ke asing. Inilah gambaran nyata betapa pemimpin kita sudah tercerabut dari akar spiritualitasnya, pedoman hidup bangsanya, dan menggunakan konsep neo-liberalism. Sujudnya bukan lagi kepada Allah tapi kepada Obama, kiblatnya bukan lagi ke Ka’bah tapi ke  Amerika. Ini merupakan kelanjutan dari mental jajahan yang imperiority complex dan minder wardig—rendahdiri stadium 4!!!

Harus hadir model “kepemimpinan langit” dan “kepemimpinan nalar” sekaligus yang menyatu dalam figur calon pemimpin yang dengan sinar ruhaninya memberi efek kesejukan, kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin;  Akidahnya lurus; pembelaan kepada rakyatnya total dan keberaniannya untuk menegakkan amar makruf dan nahyi munkar, sekalipun harus melawan Barat,  tak perlu diragukan. Ia bukan pemimpin cengeng, bukan juga boneka yang dikendalikan oleh para kapitalis, borjuis, neo-liberalis… ia adalah manusia suci yang ingin mengembalikan negeri ini kepada khittahnya sebagai bangsa pejuang, besar dan religius.

Semoga model manusia langit dan manusia nalar menyatu di dalam diri kita, dan hadir pula pemimpin besar di negeri ini yang diridhoi Allah yang bobotnya seperti harapan kita di atas.

Wallahua’lambishawab.
Pengumuman
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Tarbiyatun Nisaa Bogor, Sekolah berbasis karakter, kesadaran Lingkungan dan Akhlak Islami. Membuka pendaftaran siswa/siswi baru T.A. 2017/2018, untuk tingkat: RA/TKQ-SDIT-SMP-TKQ/TPQ. Dibuka sejak bulan Januari s/d Juni 2017. Dan menerima pendaftaran mahasiswi baru program 1 tahun terampil PGTKA (Pendidikan Guru TK. Al Qur'an). Dibuka sejak Maret s/d Juni  2015, Kuliah dimulai Bulan Juli  2017.

0 komentar

Posting Komentar