Postingan kali ini, walau lebih banyak nuansa "unek-unek gemesnya",
akan mencoba mensoroti UN sebagai sebuah fenomena kegiatan evaluasi
pendidikan akhir sekolah di Indonesia yang baru saja dilaksanakan.
Disadari atau tidak, UN sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan
nasional, sangat besar pengaruhnya terhadap perjalanan bangsa Indonesia
di masa depan. Mensikapi UN sebagai sebuah fenomena kegiatan
pendidikan, terketuk untuk mencoba mengungkap ragam pertanyaan
tentang sisi baik dan buruknya. Masih perlukan UN diberlakukan? Adakah
nilai-nilai lebih yang bisa dihasilkan dari UN? Adakah keterkaitan UN
dengan kecerdasan dan keunggulan siswa? Apakah UN bisa melahirkan
anak-anak Indonesia yang cerdas, jenius dan pintar sesuai dengan
bakatnya masing-masing? Tidak adakah alternatif lain, sebagai sistem
evaluasi akhir kegiatan pembelajaran siswa selain UN? Ataukah UN terus
menerus dipaksa laksanakan untuk tetap menjadi penentu kelulusan siswa?
Siapakah sebenarnya, para para elit pembuat kebijakan sistem pendidikan
di Indonesia ini? Mengertikah mereka tentang psikologi anak?
Mengertikah mereka tentang aneka bakat bawaan yang unik dan berbeda yang
dibawa setiap anak?
Pernahkah mereka melakukan studi banding ke negara lain yang lebih unggul dan hebat dalam sistem pendidikannya, contohnya adalah negara Finlandia, yang sudah terkenal sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, yang sama sekali tidak melaksanakan UN sebagai penentu kelulusan siswanya? Ataukah UN ini dipandang sebagai proyek lumbung mengalirnya dana semata-mata? Terpikirkah oleh mereka, tentang bagaimana nasib anak-anak bangsa yang akan mengisi Indonesia di masa depan? Dan ragam pertanyaan kritis lainnya, tiada lain sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara Indonesia di masa depan. Karena hanya melalui pendidikanlah, bangsa ini akan maju sebagai pemenang atau kalah sebagai pecundang.
UN, sebenarnya untuk siapa?
UN sebagai tolok ukur evaluasi kegiatan akhir sekolah nasional di Indonesia, melahirkan ragam reaksi dan apresiasi. Satu sisi, memberikan kebanggaan, bahwa Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pendidikan Nasional, telah berhasil membuat standar penilaian nasional yang menyeluruh dari mulai tingkat SD, SMP dan SMU serta dilaksanakan secara serentak di seluruh tanah air. Sehingga hasil UN, bisa dijadikan pemetaan, sekolah mana saja yang termasuk unggulan dan sekolah di daerah mana saja yang perlu mendapat pembinaan khusus, terkait masih banyaknya siswa yang tidak lulus UN, serta materi pelajaran apa saja yang perlu pembinaan, pendalaman dan pelatihan bagi para guru-gurunya. Namun di sisi lain, ternyata UN melahirkan ragam keprihatinan kritis yang mendalam bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, psikolog, pengamat sosial, dan kalangan pecinta anak-anak.
Bahkan secara yuridis legal hukumpun, UN telah dibatalkan oleh MA. Fenomena siswa yang stress, depresi, tertekan, bahkan ada yang sampai bunuh diri, merupakan sisi negatif lain yang menjadi ikutan UN. Ada ketidak adilan yang dirasakan, bayangkan mereka belajar 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMU, nyaris tak berbekas sama sekali hanya karena UN yang terdiri dari 3 s/d 6 pelajaran, serta dilaksanakan hanya 3 s/d 5 hari saja. Di sisi lain, suasana belajar menjadi tidak nyaman, tertekan, tumpulnya kreatifitas dan bakat siswa dalam ragam kecerdasan, karena kecerdasan yang dipaksa dan diseragamkan, hingga suasana pembelajaran terkesan "kering membosankan", karena semua diorientasikan agar siswa bisa lulus UN. Materi pelajaran yang sedemikian banyak, bahkan terkesan terlalu banyak, menjadi tidak ada gunanya, bahkan tidak meresap di otak anak-anak, lagi-lagi karena tekanan UN yang hanya menonjolkan aspek kognitif saja.
Indonesia Negeri Raksasa Tertidur
Tujuan ideal yang digembar-gemborkan pemerintah, bahwa UN adalah salah satu standar tolok ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia, justru tanpa disadari menjadi salah satu hilangnya ruh pendidikan di Indonesia. Dan mungkin tanpa disadari, susahnya dilahirkan orang-orang jenius yang ahli di berbagai bidang, yang seharusnya tercipta dan terbentuk melalui berbagai sekolah di seluruh pelosok tanah air. Bayangkan, begitu banyak ragam kekayaan alam di Indonesia, baik yang ada di daratan dari mulai tumbuhan, hutan dan sungai maupun ragam jenis kekayaan yang ada di lautan, menjadi sesuatu yang sia-sia, tidak terapresiasi dan dinikmati oleh bangsa ini, salah satu penyebabnya, karena kurangnya kesadaran tentang keunggulan lokal, karena tidak menjadi bagian dari kekayaan kurikulum pembelajaran di sekolah-sekolah.
Bila sistem pendidikan dan pembelajaran dirubah, dan UN tidak dijadikan penentu kelulusan siswa, sehingga setiap sekolah diberikan kebebasan berkreasi, mengeksplorasi ragam kekayaan dan keunikan daerahnya masing-masing, maka sungguh luar biasa, akan lahir dan muncul anak-anak cerdas dan jenius dari berbagai pelosok negeri. Sekolah yang berada di lingkungan hutan, akan melahirkan anak-anak yang memahami tentang hutan di lingkungannya, sehingga terbentuk rasa cinta dan mengerti seluk beluk hutan. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, akan melahirkan anak-anak yang cerdas dan jenius tentang ragam kekayaan lautan, bahkan mungkin dia akan menjadi ahli di bidang kelautan, walau hanya baru tingkat SMU saja. Sekolah yang ada di daerah pertanian, perkebunan, industri, pusat bisnis, pertokoan dan belanja, akan melahirkan para siswa enteurprenership, yang sudah terbiasa dengan dunia bisnis dan perdagangan. Sungguh luar biasa..... Sehingga harapan terbentuknya Indonesia yang unggul, cerdas dan berwibawa, akan terbentuk merata, dan tentu saja siap bersaing dengan negara-negara lain.
Bila sistem pendidikan dan pembelajaran dirubah, dan UN tidak dijadikan penentu kelulusan siswa, sehingga setiap sekolah diberikan kebebasan berkreasi, mengeksplorasi ragam kekayaan dan keunikan daerahnya masing-masing, maka sungguh luar biasa, akan lahir dan muncul anak-anak cerdas dan jenius dari berbagai pelosok negeri. Sekolah yang berada di lingkungan hutan, akan melahirkan anak-anak yang memahami tentang hutan di lingkungannya, sehingga terbentuk rasa cinta dan mengerti seluk beluk hutan. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, akan melahirkan anak-anak yang cerdas dan jenius tentang ragam kekayaan lautan, bahkan mungkin dia akan menjadi ahli di bidang kelautan, walau hanya baru tingkat SMU saja. Sekolah yang ada di daerah pertanian, perkebunan, industri, pusat bisnis, pertokoan dan belanja, akan melahirkan para siswa enteurprenership, yang sudah terbiasa dengan dunia bisnis dan perdagangan. Sungguh luar biasa..... Sehingga harapan terbentuknya Indonesia yang unggul, cerdas dan berwibawa, akan terbentuk merata, dan tentu saja siap bersaing dengan negara-negara lain.
Namun kenyataan yang terjadi saat ini, ternyata sekolah dan sistem pendidikan yang berjalan saat ini, tak lebih hanya menjejali para siswa dengan ragam teori-teori kognitif yang sama sekali tidak berhubungan dan bersentuhan langsung dengan dunia dan lingkungan nyata yang ada di sekitarnya. Maka lihatlah apa yang terjadi? setiap akhir tahun, sekolah hanya melahirkan generasi pengangguran yang bingung, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa, jangankan untuk orang lain dan lingkungannya, untuk diri sendirinya saja merasa kebingungan. Maka fenomena TKW, TKI dari berbagai daerah berbondong-bondong mencari pekerjaan kasar di negeri orang. Ternyata sebagian besar hanya jadi tukang kuli bangunan, pembantu rumah tangga, pesuruh dan jenis-jenis pekerjaan kasar lainnya. Sungguh sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri, mereka diperhinakan, dianiaya, ditindas, ditipu, dikejar-kejar seperti binatang pesakitan. Sementara di sisi lain, kekayaan negeri ini diintip, diteliti dan dicuri oleh bangsa lain. Mereka menikmati kekayaan negeri ini, sementara bangsa kita menderita dan kelaparan di negerinya sendiri. Sampai kapankah hal ini akan terus terjadi menjadi irama negeri ini?
Di sisi lain, para elit penguasa dan elit pembuat kebijakan pendidikan di dalamnya, seolah-olah buta tuli dan tidak peduli terhadap berbagai kritikan dan keprihatinan dari berbagai pihak. Prinsip "the show must go on" menjadi kebijakan yang dipaksa dilaksanakan. Kepalang dan sayang, karena dana dan anggaran yang telah dikucurkan, pantang untuk menghentikan, maka UN pun akan terus menerus dijalankan. Kalau hal ini terus berjalan, dan sistem pendidikan di Indonesia tidak mengalami perubahan radikal, maka jangan diharap 5-10-15 tahun yang akan datang, akan muncul generasi-generasi jenius, cerdas dan cinta terhadap tanah dan lingkungannya di mana mereka berada. Masih perlukan UN? Atau bangsa ini akan terus tertinggal oleh bangsa-bangsa lain di berbagai bidang kehidupan. Masih pantaskah UN?
Referensi: Dari berbagai sumber
Pengumuman
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Tarbiyatun Nisaa Bogor, Sekolah berbasis karakter, kesadaran Lingkungan dan Akhlak Islami. Membuka kembali pendaftaran siswa/siswi baru T.A. 2013/2014, untuk tingkat: RA/TKQ-SDIT-SMP-TKQ/TPQ. Dibuka sejak bulan Maret s/d Juni 2013. Dan menerima pendaftaran mahasiswi baru program 1 tahun terampil LPPGTKQ (Lembaga Pengembangan Profesi Guru TK. Al Qur'an). Dibuka gelombang ke 1, sejak Mei s/d Juni 2013, Kuliah gel. 2 dimulai Bulan Juli 2013.
Tak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan merupakan kunci utama penghantar kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan yang baik, cerdas dan mencerahkan, akan melahirkan generasi bangsa unggulan. Sebaliknya, pendidikan yang membelenggu dan membodohkan, justru mendorong bangsanya ke arah kemunduran. Ayo temen-temen blogger, baik yang pro maupun kontra dipersilahkan untuk memberikan komentarnya, siapa tahu didengar dan dibaca oleh para elit bangsa. Apapun jenis komentar yang diberikan, kami ucapkan terima kasih.. Maju Indonesia.....
BalasHapus