top
down

Dongengkah atau Kisah Nyata?

Diposting oleh Tarbiyatun Nisaa - Selasa, 06 Desember 2011, 05.32 Kategori: - Komentar: 0 komentar

Ajaran Islam yang dibawa dan dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW, merupakan kumpulan dan perpaduan indah ragam karakter Nabiullah sebelumnya.  Di dalamnya ada kelembutan dan kehalusan Nabiullah Isa as, ketegasan dan kegagahan Musa as, kesabaran dan ketabahan Ibrahim as, keberanian dan kegagahan Daud as dan karakter nabi yang lainnya. Sehingga ajaran Islampun menjadi bagian dari kepirbadian para sahabat-sahabat Rasulullah dan orang-orang sholeh kemudian.  Hingga lahirlah, orang-orang mulia yang memancarkan keindahan akhlak sempurna dengan karakter pribadi-pribadi istimewa, satu sisi memancarkan pribadi yang lembut,  rendah hati, ikhlas, terbuka dan sederhana, namun di sisi lain, memancarkan pribadi yang tegas, keras dan tak berkompromi dengan maksiyat, kebatilan dan kesesatan. 


Kisah di bawah ini, hanyalah sebagian kecil dari kisah nyata tentang kemuliaan yang dimiliki orang-orang sholeh sebelum kita. Bagi sebagian orang, dianggap seperti kisah dongeng saja. Bukan karena tidak dipercayainya sumber-sumber kisah nyata itu; namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Kehidupan yang dipenuhi dengan henonisme, hipokrisme, konsumerisme dan kepura-puraan. Mungkin sebagai akibat makin jauhnya nilai dan norma Islam dalam kehidupan nyata saat ini.

Inilah sebagian kisah-kidah indah, yang pernah ada dan terjadi.

1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh –kalau sekarang mungkin dipanggil kiai– Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan, meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti layaknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bersandarkan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghujam pada kaki syeikh Sa’id hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan orang tua itu.

Demikianlah, ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majelis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa’id: “Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”

“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh Sa’id sambil tersenyum, “Kalau aku mengadu atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”

Lihatlah. Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.

2. Syeikh Hasan Al-Bashri, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah. Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk.

Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat bale-bale tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya:
“Syeikh, ini baskom apa?’
“Ah baskom itu, sekedar penampung tetesan air;” jawab Syeikh wajar-wajar saja,
“Setiap kali penuh baru saya buang.”
“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar,
“maksud saya menampung tetesan air dari atas ini?”
“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.

Seperti dongeng bukan? Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?

3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau-kalau ada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya. Ternyata di rumah sang pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya,
“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?”
“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.
“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.
“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persediaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.
“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”
Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.

Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tiada lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga –seorang shahabat Anshor– itu dengan tersenyum, sabdanya: “Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalam.”

Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq ‘alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a. Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan?!

Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi. Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab klasik, di kitab suci Al-Quran, di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab salaf  yang lainnya. Hampir semuanya, bila Anda baca, Anda akan merasa seperti membaca contoh-contoh di atas. Merasa seperti membaca dongeng. Kalau benar demikian, bukankah ini pertanda bahwa kondisi kehidupan kita –masya Allah—sudah semakin jauh saja dengan kondisi ideal seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Salafunaas Shaalihuun, para pemimpin dan pendahulu kita yang soleh-soleh.

Wallahu a’lam bishowwab.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan terinspirasi dari kisah sederhana ini
Referensi: Sumber online

0 komentar

Posting Komentar