Serial Kajian Psikologi Qur’an
“MANUSIA LANGIT”
(Wakil Ketua Yayasan Wakaf Tarbiyatun Nisaa Bogor)
Dalam hikayat shufiyah dijelaskan, bahwa sejatinya manusia
adalah mahluk “langit” yang diturunkan ke bumi bukan sekadar mahluk bumi yang
nantinya kembali ke “langit”. Tiada manusia “diturunkan” ke bumi (baca:
dilahirkan) kecuali untuk mengcopy-paste peradaban syurga (jannatunna’im)
yang penuh kenikmatan, kebahagiaan, kesejahteraan; tanpa rasa takut, gelisah,
stres dan khawatir sedikitpun menghadapi gejolak kehidupan. Memang manusia diberi
akal dan qalbu oleh Allah yang berfungsi untuk merenung dan berpikir,
berkontemplasi dan berzikir dalam menghadapi romantika kehidupan yang ragam
tantangan (multy-challanges) dan keharusan manusia untuk menjawabnya (response)
dengan baik, benar dan tepat. Namun menyerahkan sepenuhnya kepada akal dan
qalbu tanpa bimbingan wahyu (pesan-pesan Illahiyah; kitab suci) yang terjadi
adalah ngawurnya pemikiran, terseok-seoknya perasaan, berkutatnya prasangka dan
suburnyasyahwat kehidupan (syahwat
budaya, ekonomi, sosial danpolitik) sehingga mewujudkan kehidupan baku-hantam (ba’dhukum liba’dhin aduwwun: homo homini
lupus; bellum omnium contra omne); saling sikut, saling jegal, saling
hasud, saling khianat (kal an’am balhum adhol: seperti binatang bahkan
lebih buruk dari binatang) dst, pada gilirannya
kearifan, keharmonisan dan keberkahan pun sirna ilang kertaning bumi.
Menurut Imam Ghozali, menyitir hadis Rasulullah saw,
kenapa hati manusia disebut qalbu, karena kondisinya yang selalu bolak-balik,
naik turun dan tidak ajeg. Begitulah qalbu tanpa bimbingan agama akan berjalan
tanpa arah. Perlu dikuatkan dengan iman, ilmu, amal, ibadah, zikir dan
doa—seperti doa ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala dinika (Duhai
Allah pembolak-balik hati manusia mantapkanlah hati ini {istiqomah} dalam
agamaMu).
Pepatah sufistik mengatakan... dunia lebih membutuhkan
satu orang suci ketimbang seribu orang nalar. Orang suci yang dengan sinar
ruhaninya mampu memberi efek kesejukan, kedamaian dan keindahan. Sementara
orang nalar (yang tercerabut dari akar spiritualitasnya) lebih banyak manabur
keangkuhan, kesombongan, kebencian dan egoisme sektoral. Dunia di tangan orang
suci menjadi indah dan harmonis meski berbeda-beda namun di tangan orang nalar
menjadi babak belur dan penuh kesenjangan. Orang suci membawa pesan-pesan
langit untuk menjadi hukum kehidupan sementara orang nalar—dengan keangkuhan
berpikirnya—mengatur kehidupan dengan daya pikir yang dipenuhi sak wasangka dan
syahwat semata sehingga menyuburkan fahisyah dan kezaliman di dalam sistem
kehidupan.
Dalam sejarah agama... paham dan kepercayaan manusia
tanpa bimbingan wahyu (hidayatul irsyad) melahirkan animisme, dinamisme,
totemisme dan naturalisme. Kepercayaan tersebut menggambarkan bahwa benda-benda
(batu, pohon, air, gunung dsb), hewan-hewan tertentu (harimau, elang, garuda,
beruang, serigala, dsb) dan fenomena alam (angin topan, gempa bumi, badai,
kebakaran, banjir, tsunami, dsb) masing-masing memiliki kekuatan gaib, magis
dan supranatural sehingga harus diberi sesaji dan disembah-sembah. Dari sini
muncul istilah dewa air, dewa laut, dewa api, dewa angin, dewa bulan dan dewa
matahari. Karena matahari punya unsur-unsur
mysterium, tremendum et fascinans (istimewa)—menurut Rudolf Otto, seorang
sosiolog agama, makaiadijadikan sebagai dewa
tertinggi dengan aneka sebutan seperti Ra, Zeus dan Indra.
Demikian juga dalam
kehidupan sosial, bertumbuhnya sosialisme, kolektifisme, kapitalisme, skeptisisme,
agnotisisme, liberalisme dst, pada gilirannya memunculkan ketidak-adilan di
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena berbasis pada
siapa yang kuat itu yang menang (maafseperti dalam arena
pileg dan pilpres kita sekarang terkadang siapa yang bermodal kuat (potensial
sebagai) pemenang(modal duit, modal media, modal survey—mungkin juga modal
manipulasi data, dsb). Paham dan
kepercayaan ini diluruskan oleh wahyu dengan cara diutusnya para Nabi dan
Rasul—menurut hadis riwayat Imam Ahmad, jumlah Nabi mencapai 124 ribu Nabi dan
Rasul mencapai 315 Rasul yang diutus ke seluruh pelosok bumi (QS 16 : 36), dan
ditutup dengan kehadiran NabiMuhammad saw sebagai Khotamun Nabiyin
(penutup para Nabi). Perhatikan ungkapan hadis berikut ini:
“perumpamaanku dengan para nabi adalah seperti
perumpamaan seseorang yang membangun sebuah rumah. Dia menata dengan bagus dan
sempurna. Kecuali masih ada satu bata. Banyak orang masuk ke dalam bangunan
tersebut dan mengaguminya seraya berkata: kalau seandainya bukan karena tempat
bata itu (masih kosong), maka akan jauh lebih bagus. Selanjutnya Rasulullah saw.
Bersabda: Aku adalah yang (diibaratkan) sebagai bata tersebut. Aku datang
sekaligus sebagai penutup para nabi.” (HR Jabir r.a. Kitab Shahih Muslim :
4240)
Siapa “Manusia Langit”
Istilah “manusia langit”—disamping istilah yang sangat
sufistik, ternyata diinspirasi QS Al-A’raf {7} : 172... Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari sulbi mereka kemudian Dia
meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri (dan berfirman) ‘Bukankah
Aku ini Robb kalian?’ Mereka semua menjawab, ya benar, kami semua bersaksi
(bahwa Engkau adalah Robb kami). Beberapa kitab tafsir menyebut perjanjian
primordial itu terjadi di alam ruh (tempat Adam bermula) sebelum ruh ditiupkan ke dalam jasad
(diturunkan ke bumi). Sebagian menyebut—termasuk dalam kajian tashawuf modern
(Agus Mustofa 2003), bahwa akhirat itu sudah ada dan dunia ini bagian kecil
dari akhirat (perhatikan QS 3 : 133) bahwa syurga itu seluas langit dan
bumi. Luasnya langit dan bumi menurut ilmuwan antariksa berdiameter 30
milyar tahun cahaya. Sederhananya bintang yang paling jauh baru sampai
cahayanya ke bumi pada kurun 30 milyar tahun cahaya. Itulah (kurang lebihnya)
luas alam akhirat (?).
Perjanjian primordial itu terjadi di alam tersebut.
Dengan demikian “manusia langit” adalah manusia fitrah (baca: suci) yang
disabdakan oleh Nabi saw,bahwa tiap-tiap anak diahirkan dalam keadaan fitrah
(suci). Maka (peranan) kedua orangtuanyalah yang menjadikan mereka yahudi,
nashroni atau majusi (HR Buchari).
Jadi ruh itu suci dan harus terus dirawat kesuciannya dengan buku panduanPenciptanya yaituAl-Qur’an melalui uswah
hasanahRasulullah saw. Ibarat kendaraan bermotor sebutlah yamaha—cara merawat mesin,juga saat rusak—haruslah
berdasarkan buku panduanpraktis produk yamaha. Kalau menggunakan buku lain, suzuki
atau honda, maka alamat rusaklah motor tersebut.
Dengan demikian “manusia langit” adalah ungkapan majaz (simbolik) mengenai sikap dan
perilaku yang Islami; sesuai dengan fitrahnya; sejalan dan selaras dengan
nilai-nilai Al-Qur’an. Perhatikan berikut ini... Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Islam), yaitufitrah (agama) Allah yang telah Dia
ciptakan manusia (selaras) atasnya. Tiada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah
agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum
{30} : 30). Dengan kata laindinul Islam adalah dinul fitrah, dan
manusia beriman kepada dinul fitrah disebut sebagai manusia fitrah sama
dengan (=) manusia suci.
“Manusia Nalar”
Manusia punya akal dan qalbu sebagai alat untuk merenung dan berpikir.
Kalau akal digunakan untuk berpikir analitik, maka qalbu (dengan unsur-unsur di
dalamnya seperti lubb, shodr dan fu’ad) digunakan untuk berpikir
kontemplatif. Berpikir analitik didasari hal-hal empirik (eksperimen, uji validitasdata dan fakta). Berpikir kontemplatif didasari hal-hal
subyektif (perenungan intrinksik {ke dalam}, doa, zikir, ilham, firasat,
intuisi, ramalan dst). Keduanya harus saling melengkapi karena masing-masing ada kurang dan lebihnya. Contoh, seorang cenayang
(semacam paranormal) mendapat firasat (intuisi)
bahwa jatuhnya pesawat MH370 ada di lepas pantai lautan hindia. Kebenaran
intuisi ini harus divalidasi dengan
pelacakan empirik ke lapangan. Jika tidak, jadinya sekadar mengawangatauangin
lalusaja. Anehnya di negeri ini hal-hal yang bersifat kontemplatif (perenungan
subyektif: ramalan) kadang diyakini kebenarannya tanpa uji validasi ke
lapangan. Media cetak, elektronik dan audio-visual ramai memberitakan paranormal
laku keras (bak kacang goreng) didatangi para caleg dan capres meminta doadanpetunjuk agarsukses dalam pencalegan dan pencapresannya. Mereka ada yang mengidentikkan dirinya sebagai dukun, orang
pintar, titisan pajajaran; majapahit, dsb—bahkan tak sedikit—mengklaim sebagai
ustad, kyai atau ulama dengan segala atribut kebesarannya.
Dalam sejarah diungkapkan, ketika Portugis menyerang
Nusantara dengan kekuatan senjata meriam. Jelas meriam
adalah senjata jarak jauh yang digunakan pada saat perang. Namun di Nusantara
ada sebagian orang memperlakukan meriam sebagai senjata magis yang wajib
dimandikan tiap malam jum’at kliwon dengan kembang tujuh rupa. Termasuk
terhadap keris, kujang, badik, clurit dsb—seolah dengan begitu, Portugis dan
Belanda jadi takut. Hasilnya 350 tahun kita dijajah (lebih kurang sepuluh
generasi); waktu yang tidak sebentar.
Walhasil Barat yang bercirikan “rasionalitas angkuh”
dengan persenjataan canggih (masa itu) dapat menaklukkan negeri-negerimuslim
khususnya di wilayah Asia Tenggara.
Akhirnya negeri-negeri jajahan dipreteli satu persatu dan dibagi-bagi (persis
nasi tumpeng) untuk Inggris, Belanda, Amerika dan Portugis.Sementara sebagian
penduduk negeri-negeri jajahan mengidapimperiority complex dan minder wardig
(sindrom rendah diri) sehingga melahirkan generasi baru yang western
minded-western oriented, merasa diri terhormat dan mulia jikalau mengekor
ke Barat baik dalam pikiran maupun perilaku, secara lebih luas dalam sistem
sosial, ekonomi, politik dan hukum. Padahal Barat sekarang mengalami
“sakit-sakitan” dan sebagian sudah sakarotul maut akibat kehidupan
mereka yang sekular, liberal dan individualis—sebagai hasil daricara berpikir
yang memberhalakan nalar-rasionalitas tadi—yangtercerabut dari akar
spiritualitasnya.
Kritik terhadap Barat sudah lama menggema seperti Maurice
Bucaielle, Roger geraudy, Jefry Langdan John Naisbit untuk menyebut beberapa
nama. Oleh karenanya pada dekade 90-an, masyarakat Barat mulai menerima
“kearifan Timur” meski tetap memusuhi Islam—sebagaimana tulisanSamuel P
Huntington (penasihat Pentagon), dalam bukunya Who Are We? (2004): Islam militan
telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS—dan sebelumnya
dalam The Clash of Civilization (1996), “Bagi Barat, yang menjadi musuh utama
bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri.”
Ironinya makin Islam dimusuhi dan difitnah dengan
kejimakin banyak masyarakat Barat yang masuk Islam, di Inggris, Prancis dan
Amerika—untuk menyebut tiga negara, jumlah muslimnya mencapai 20 hingga 50% lebih—sementara agama
kristen dengan gerejanya makin sepi dan ditinggalkan. Wajar kalau seorang pakarsejarah, Emile Dermenghem (penulis The Life of Mahomet), menyebut Islam sebagai agama yang paling layakhidup di masadepandan di dunia modern.
Integrasi “Manusia Langit” dan “Manusia Nalar”
Indonesia membutuhkan “manusia langit” dan “manusia
nalar” sekaligus. Namun manusia nalar yang berbasis pada iman dan taqwa,
sehingga nalar yang dikembangkan berorientasi pada pembangunan peradaban syurga
di dunia; terwujudnyaperasaan senang,
bahagia, sejahtera lahir dan batin; tiada rasa takut, gelisah, stres dan
khawatir menghadapi perubahan zaman. Secara paradigmatik integrasi keduanya bermula
dari perpaduan akal dan qalbu yang saling mengisi baiksecaraanalitik-rasionalatau
perenungan kontemplatifnya sehingga padasaat melakonisatuperbuatan ukurannya
tak sebatas “bisa dan tidak bisa”, tapi“boleh dan tidak boleh”,
jugapenjelasanhikmah di balikitu. Ungkapan “Bisa dan tidak bisa” adalah bahasa
pikiran, “boleh dan tidak boleh”: bahasa hukum (fiqh), danhikmah di balikitu
(yang dirasakan) secarabatinadalahbahasahati. Contoh, bisa tidak kita makan
babi? Jawaban pikiran, bisa! Jawaban hukum, tidak boleh! Bisa
tidak seorang muslim kumpul kebo? Termasuk kawin mut’ah? Jawaban pikiran, bisa! Jawabanhukum, tidak boleh! Dsb. di sinilah pikiran dan agama saling
mengupas kenapa agama melarang makan
babi? Kumpul kebo? Kawin mut’ah? Jelas ada hikmah di balik itu dan bisa
dijelaskan secara analitik-rasional-ilmiah—dan (dalambahasaqalbu)
bisa dirasakan maslahat dan keberkahannya di dalam batin.
Perhatikanfirman Allah dalamQS. Al-A’raf : 96: “Dan
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami
akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Dan
ditandaskan dalam QS At-Tholaq : 3: “ Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah
telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiapsesuatu.”.
Menyatunya “Kepemimpinan Langit” dan “Kepemimpinan Nalar”
Menyatunya “kepemimpinan langit” dan “kepemimpinan nalar” harus terjadi
di negeri ini. Menurut para sejarawan, ekonom dan sesepuh NKRI, Indonesia
sekarang telah menjadi negeri “tanggung” dan membingungkan, disebut negara agama
bukan, negara sekular juga bukan, kesimpulannya negara “bukan-bukan”. Jenis kelaminnya tidak jelas
(bukan laki-laki bukan pula perempuan
alias-maaf—banci!). Konstitusi kita menyebut negara pancasila dimana sila pertamanya
“keTuhanan Yang MahaEsa” namun militansi kepada Tuhan dikebiri; umat Islam
meminta hak menjalankan agamanya secara kaafah difitnah teroris dan dianggap musuh pancasila dan musuh bhinekatunggalika.
Kekayaan sumber daya alam yang seharusnya domain
negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran dankesejahteraan rakyat malah diobral ke asing. Inilah gambaran nyata betapa pemimpin kita sudah tercerabut dari akar spiritualitasnya,
pedoman hidup bangsanya, dan menggunakan konsep
neo-liberalism. Sujudnya bukan lagi kepada Allah tapi kepada Obama,
kiblatnya bukan lagi ke Ka’bah tapi ke Amerika. Ini merupakan kelanjutan dari mental
jajahan yang imperiority complex dan minder wardig—rendahdiri stadium 4!!!
Harus hadir model
“kepemimpinan langit” dan “kepemimpinan nalar” sekaligus yang
menyatu dalam figur calon pemimpin yang dengan sinar ruhaninya memberi efek kesejukan,
kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin; Akidahnya lurus; pembelaan kepada rakyatnya total
dan keberaniannya untuk menegakkan amar makruf dan nahyi munkar, sekalipun harus melawan
Barat, tak perlu diragukan.
Ia bukan pemimpin cengeng, bukan juga boneka yang dikendalikan oleh para kapitalis,
borjuis, neo-liberalis… ia adalah manusia suci yang ingin mengembalikan negeri ini kepada khittahnya sebagai bangsa pejuang,
besar dan religius.
Semoga model
manusia langit dan manusia nalar menyatu di dalam diri kita, dan hadir pula
pemimpin besar di negeri ini yang diridhoi Allah yang bobotnya seperti harapan kita
di atas.
Wallahua’lambishawab.
Pengumuman
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Tarbiyatun Nisaa Bogor, Sekolah berbasis karakter, kesadaran Lingkungan dan Akhlak Islami. Membuka pendaftaran siswa/siswi baru T.A. 2017/2018, untuk tingkat: RA/TKQ-SDIT-SMP-TKQ/TPQ. Dibuka sejak bulan Januari s/d Juni 2017. Dan menerima pendaftaran mahasiswi baru program 1 tahun terampil PGTKA (Pendidikan Guru TK. Al Qur'an). Dibuka sejak Maret s/d Juni 2015, Kuliah dimulai Bulan Juli 2017.
0 komentar
Posting Komentar