top
down

FROM CIAMIS WITH LOVE (THE TRUE STORY) BAG. 2

Diposting oleh Tarbiyatun Nisaa - Minggu, 11 Desember 2016, 05.46 Kategori: - Komentar: 0 komentar

FROM CIAMIS WITH LOVE
(Bagian 2)
Sebuah catatan apa adanya
Ide gila Jalan kaki  212

Waktu menunjukan pukul 06.00 pagi, santri sudah siap lagi untuk melanjutkan perjalanan, namun  Kyai Maksum sebagai sohibul bait, masih menahan keberangkatan kami dari pondok pesantren Cikole, yang terletak di Kecamatan Cihaurbeti itu. Beliau mengatakan, "tidak boleh berangkat, sebelum sarapan dulu…” Terlihat di dapur pesantren, pengurus santri sangat sibuk mempersiapkan makanan. Teteh  istrinya Kyai, hilir mudik konsolidasi kesiapan piring dan   tetek bengeknya. Hati saya berkata, aduhh kok jadi ngerepotin orang. 

Tapi nampak dari wajah semuanya, memancarkan wajah gembira,  maklum keluarga pejuang, bagi beliau-beliau, hal itu bukan beban melainkan anugerah. Tibalah saatnya, semua peserta Jalan kaki sarapan pagi, maklum jumlahnya ribuan tidak semuanya kebagian piring, sehingga banyak di antara mereka makan beralaskan daun pisang yang diambil di kebun Kyai, bahkan banyak pula yang pakai plastik. Mereka tak peduli, yang penting perut terisi.


Tepat pukul tujuh, saya umumkan semuanya bersiap-siap berangkat, namun tidak boleh meninggalkan sampah secuilpun. Sambil berjalan, mereka mereka memungut sampah serempak, sehingga lingkungan Pondok, bersih nyaris tanpa meninggalkan sampah sedikitpun. Kyai Maksum berjalan paling depan dekat Mobil komando. Seluruh santri Cikole, putra putri ikut bersama rombongan dan   saya agak belakangan, dengan maksud menyapu peserta, takut ada yang ketinggalan. Hebatnya, banyak ibu-ibu yang umurnya sudah di atas 60 tahun, ikut kafilah mengantar sampai ke perbatasan Tasikmalaya.

Dengan stamina yang masih segar bugar, kami terus berjalan menyusuri Jalan utama. Selang beberapa menit, Kyai Titing gabung lagi dan   kita sepakat berjalan pada shaf paling depan untuk memberikan motivasi para santri, agar tetap semangat. Tiga puluh menit berjalan, sampailah kita di perbatasan Tasikmalaya. Di sana, sudah banyak sekali masyarakat yang menyambut kami sepanjang perjalanan plus aneka makanan dan   minuman yang diberikan. Bahkan, ribuan santri dan anak-anak Sekolah Dasar berbaris berjejer menyemangati kami dengan pekikan Takbir dan Nasyid Perjuangan. Membuat kami makin semangat  berjalan.



Di daerah Tasik, saya dipeluk seorang Kyai sambil menangis haru. Saya tak kuat menahan air mata, sehingga kami berpelukan saling mendoakan. Dia berkata, “teruskan perjuanganmu saudaraku, saya menyusul hari Jum’at. Saya jawab, “mohon doanya saja….” Sambil salaman, dia mengeluarkan amplop dari saku bajunya dan mengatakan, “ini tambahan amunisi untuk berjuang…”  Makin tak kuat saya merasakan, betapa hebatnya denyut iman menambah ukhuwah.

Saya beserta  kafilah melangkah dan   terus melangkah. Kedua HP saya terus berbunyi, ketika diangkat,  ternyata wartawan dari berbagai media. Pertanyaannya hampir semuanya sama. Sudah sampai di mana? Berapa jumlah yang ikut? Saya jawab dengan sabar. Walaupun agak sedikit malas dan pusing, karena banyaknya yang menghubungi.

Satu lagi HP berbunyi, begitu dilihat, ternyata guru saya. Saya angkat, Assalamu’alaikum Uwa….. Guru saya bertanya, bagaimana kondisi santri? Perjalanan sampai mana? Pertimbangkan kondisi santri, jangan sampai orang tua menyalahkan kita. Saya hanya menjawab,  baik uwa, akan  saya musyawarahkan di depan. Hati mulai ada sedikit bimbang. Tak terasa, perjalanan sudah hampir 4 jam. Akhirnya, sampailah kita di satu Mesjid daerah Ciawi dekat rumah makan Asep Strawberry. Kita putuskan untuk istirahat dan sholat. Begitu tiba di mesjid, ternyata, sudah berkumpul ratusan santri dan Laskar  FPI yang siap bergabung.

Jumlah peserta makin bertambah. Adzan duhur berkumandang, semua bergegas mengambil wudhu. Shalat berjamaah Dhuhur dan Ashar dijamak qoshar. Imamnya Kyai Titing. Selepas shalat, santri dibiarkan dulu istirahat sambil menikmati makanan dan minuman pemberian masyarakat di sepanjang perjalanan.

Ketika saya rebahan di teras mesjid sambil ngurut kaki, telpon berbunyi, namanya muncul Kyai senior Ciamis. Beliau berkata, “saya kedatangan pa Dandim, mohon santri kembali ke pondok masing-masing…” Saya jawab, mau dirapatkan dulu.  HP ditutup, dan saya meneruskan rebahan. Tiba-tiba, datang mobil polisi, ternyata belakangan diketahui adalah Kapolresta, Kapolres dan  Dandim Tasikmalaya. Ketiganya berjalan menuju arah Mesjid. Salah seorang diantara mereka bertanya, “mana pimpinan rombongan?” Kata yang berbaju loreng. Betul pak saya.  Bisa bicara sebentar. Bisa Pak, jawab saya.

Kami berlima duduk melingkar. Pak Dandim memulai obrolan. Pak Kyai, saya ditelpon Pangdam agar menjemput santri, untuk pulang ke pondok masing-masing, bagaimana? Saya melirik Kyai Maksum dan Kyai Titing. Keduanya memberikan isyarat menyerahkan keputusan kepada saya. Saya agak bingung terdiam dan menengok ke kanan, ada adik saya yang mengatur peta jalan. “Pung, gimana lanjut apa pulang?” Sambil melotot dia menjawab, “Jangan pulang. Nih lihat, pemberitaan Media Sekuler menurunkan ulasan, bahwa pejalan kaki santri Ciamis tinggal 86 orang. Harus dilawan dengan pakta….” Papar adik saya.

Saya pokus lagi mengarah ke pak Dandim. Pak Dandim, saya tidak bisa memutuskan sendiri. Saya akan tanya santrinya saja. Boleh, kata pak Dandim. Lewat pengeras suara mesjid, santri disuruh masuk mesjid. Semuanya duduk. Pengarahan dimulai. Pekikan takbir selalu jadi ucapan penyemangat di setiap waktu.  Saya bertanya, “Apakah perjalanan dilanjut??? Mereka serempak menjawab, “Lanjutttttt….”  Masih kuat??? Masihhhhh……. Pertanyaan dilanjutkan, “Siapa yang mau pulang, berdiriii….” Tak ada satupun yang berdiri. Siapa yang mau lanjuttt,  dudukkk…... Semuanya duduk. Mereka teriakkan takbir berkali-kali. Mata saya tak kuat menahan haru,  air matapun meleleh. Tak terasa, tenggorokan serasa ada yang mengganjal, sehingga bicarapun agak parau saking sangat terharunya..

Saya berjalan mengelilingi mereka disaksikan Kapolres  dan bapak Dandim. Kenapa kalian memilih lanjut??? Seorang santri yang perawakannya paling ceking mengacungkan tangan sambil berkata, “Mundur sejengkal adalah mental munafik dan pecundang….” Disambut takbir bergemuruh. Saya tak kuat lagi bicara, karena suasana mesjid itu begitu bergema dengan   semangat jihad yang menyala-nyala. Mikropon saya serahkan pada Kyai Maksum, beliau berkata, itulah keputusannya Pak Dandim. Anak-anak tetap lanjut…..Takbir… Allahu Akbar!!!

Pa Dandim mengatakan,  saya tidak ada hak untuk melarang hanya memberi saran saja. Kalau itu pilihannya, silahkan jalan. Hati-hati jaga keselamatan. Baik pak Dandim, mohon doanya saja., timpal saya. Kami bersalaman dan berpelukan sambil berlinang air mata, sungguh perjalanan yang penuh dinamika di setiap titiknya.  



Semua santri keluar dari mesjid. Mobil komando tetap di depan. Polisi mengawal dan Pak Dandim melambaikan tangan. Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan Gentong yang nanjak dan berkelok. Deru mesin mobil-mobil yang lewat mengerang menanjak, seolah-olah irama musik pengantar para pejuang.



Waktu menunjukan pukul 14.00,  kafilah melanjutkan lagi perjalanan menyusuri perjalanan tanjakan Gentong berkelok panjang, agak ekstrim bagi pejalan kaki. Yang mimpin di depan adik saya Kyai Agus Malik. Sedangkan Epung di mobil komando ngasih orasi bersama peserta berperawakan tinggi besar, Kyai Fatah namanya. Suaranya menggelegar memberi semangat dan penjelasan kepada masyarakat yang dilewati.

Perjalanan agak melambat karena faktor jalan yang menanjak. Peserta mulai kelihatan  ngos-ngosan menghela napas. Air mineral di mobil komando dibagikan secara berantai kepada peserta longmarch. Semuanya rela saling berbagi sebotol berdua, sesekali senyum terlempar dari bibir masing-masing menghilangkan rasa cape. Di jalan satu arah, peserta menepi ke pinggir median Jalan. Duduk di atas pembatas jalan sambil menikmati indahnya pegunungan di bawah cuaca yang adem. Saya mendekati peserta yang paling kecil, cape enggak? Sambil ditepuk punggungnya, engga, biasa aja,  jawabnya. Kemana sandalnya?  Putus talinya Kang.  Udah naik aja ke Mobil, suruh saya. Engga ah, masih kuat kok.   Perasaan berkecamuk, ada rasa berdosa dengan pemandangan itu. Saya terus berjalan inpeksi semua peserta. Yang agak parah lecetnya, cepat-cepat ditangani Tim kesehatan dari Rumah Zakat Yang setia mengikuti di belakang rombongan.




Setengah jam istirahat,  Mobil komando disuruh berjalan lagi. Perjalananpun dilanjutkan kembali. Untuk menyemangati peserta,  saya naik ke mobil komando. Wahai para santri, memang perjalanan kita masih panjang,  tetapi janganlah kalian menghitung jarak tempuh, ayunkan langkah kaki kalian walau sedikit merangkak dan kita akan sampai tujuan. Semuanya serempak menyambut dengan takbir  sambil mengepalkan tangan ke atas tanda semangat mereka tidak luntur. HP di saku celana berbunyi,  begitu diangkat, seseorang yang mengaku dari  IIBF Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia mengatakan,  dia dan tiem menunggu rombongan di atas habis tanjakan,  kami menyediakan nasi kotak untuk makan sore. Baik Pak,  terima kasih.

Setengah jam berlalu,  sampailah rombongan di daerah perbatasan Garut, tepatnya di Tugu Selamat Datang. Rombongan istirahat lagi, karena Dermawan yang menyediakan ribuan nasi kotak sudah standbye dari tadi.  Subhanallah, rizki  begitu melimpah ruah datang tidak disangka. Kalau bukan karena kuasa Allah, tidak mungkin orang terketuk hatinya sedemikian dahsyat, hingga menyediakan makanan untuk ribuan orang. Ini mutlak pertolongan Allah. Semua peserta lahap menikmati makan sore di pinggir jalan, karena sejak pagi, baru saat itu dapat jatah makan lagi.



Satu jam kita  istirahat. Hari itu, matahari mulai redup. Waktu menunjukan pukul lima sore.  Kita berikan komando, perjalanan dilanjutkan menuju Mesjid Kaum Malangbong. Jalan menurun, masyarakat menyambut  berbaris di pinggir jalan sambil berteriak Takbir. Allahu Akbar…Allahu Akbar…… Tua muda, anak-anak dengan setia menunggu rombongan kami lewat. Makanan minuman kemasan bertumpuk di pinggir jalan dibagi-bagikan pada peserta. Subhanallah, saya tak kuat menahan air mata, begitu dahsyat rekayasa Allah, sampai semua hati ummat tergerak secara spontan.

Ketika sedang khusyu berjalanan, tiba-tiba ada yang mencegat saya. Langsung merangkul mencium pipi saya. Awalnya, saya belum ngeuh. Setelah wajahnya kelihatan, ternyata teman seperjuangan, Kyai Tatang Mustopa Kamal, tokoh ulama Malangbong. Beliau berlinang air mata menggandeng tangan kami dan ikut berjalan kurang lebih satu kilometer sebelum mesjid.  Subhanallah, begitu kita sampai di mesjid Malangbong,  ribuan orang menyambut kami.  Jalan ditutup sementara. Kumandang takbir berkali-kali terdengar dari masyarakat. Mereka menangis sambil pegang HP mengambil photo dan memvidoe rombongan kami.



Begitu masuk halaman mesjid, speaker di menara mesjid terdengar suara Kyai Tatang mengumumkan, Selamat Datang Kafilah Jihad Ciamis. Selamat datang pembela Agama Allah. Kami bangga dengan kalian. Kami bangga perjuangan kalian. Ratusan santri berjejer di teras mesjid melantunkan Shalawat Badar. Tak terasa air mata tumpah seketika. Yaa Robb, keajaiban apagi lagi yang Engkau perlihatkan pada kami. Padahal yang kami lakukan bukan apa-apa dan belum seberapa, dibandingkan dengan perjuangan para Nabi dan para Sahabat. Ibu-ibu yang menyambut kami, kelihatan girang sekali menyediakan aneka makanan dan minuman. Sepuluh menit sebelum adzan magrib, semua peserta terkulai lemas di lantai dan pelataran mesjid,  sebahagian pergi ke belakang berwudhu persiapan sholat magrib.

Tibalah waktunya adzan magrib,  semua peserta sudah siap melakukan shalat berjamaah. Mesjid penuh sesak sampai luber keluar. Takbirotul Ihrom, Imam shalat, suaranya merdu menambah suasana perjuangan semakin kokoh. Beres shalat magrib, Kyai Maksum maju ke depan, untuk mengimami Isya  Jamak Qoshar.

Selepas berjamaah, saya merebahkan diri di karfet yang empuk. Enak rasanya kalau langsung tidur. Namun, belum satu menit, banyak orang di sekeliling yang menunggu. Ditanya satu persatu, ternyata awak media dan para dermawan yang menanyakan rute dan jumlah peserta longmarch yang tersisa. Mereka siap koordinasi dengan rekan-rekan untuk menyediakan logistic sepanjang perjalanan.

Saya mengiyakan dan memghaturkan terima kasih. Tidak banyak bicara, karena rasa ngantuk yang sangat kuat. Selang beberapa menit, seluruh peserta diumumkan masuk mesjid. Kita berikan arahan dan spirit. Seperti biasa, pekikan Ista’idduu…. Semua serempak menjawab Labbaikkk…. Takbir…. Allahu Akbar… Allahu Akbar…. Bergemuruh menggema memenuhi ruangan mesjid.



Tiba-tiba, di luar terdengar suara gemuruh hujan lebat sekali. Semua terdiam. Saya lanjut berbicara, lanjut apa cukup sampai di sini??? Lanjutttt….. serempak mereka menjawab.  Tidak takut hujan??? Tidakkkk……. Tidak takut kedinginan??? Tidakkkk……..  Padahal, waktu itu menunjukkan pukul 19.30. Akhirnya diputuskan, rombongan tetap lanjut jalan walaupun gelap dan hujan.  Semua dianjurkan memakai jas hujan plastik  yang telah dibagikan. Mulai lagi kita berjalan menerobos hujan yang mengguyur ditambah dingin  pekatnya malam. 

Penasaran? Nantikan kisah selanjutnya,
Bersambung.......

0 komentar

Posting Komentar