FROM
CIAMIS WITH LOVE
(Bagian 2)
Sebuah
catatan apa adanya
Ide
gila Jalan kaki 212
Waktu
menunjukan pukul 06.00 pagi, santri sudah siap lagi untuk melanjutkan
perjalanan, namun Kyai Maksum
sebagai sohibul bait, masih menahan keberangkatan kami dari pondok pesantren Cikole,
yang terletak di Kecamatan Cihaurbeti itu. Beliau mengatakan, "tidak
boleh berangkat, sebelum sarapan dulu…” Terlihat di dapur pesantren,
pengurus santri sangat sibuk mempersiapkan makanan. Teteh istrinya Kyai, hilir mudik konsolidasi
kesiapan piring dan tetek bengeknya. Hati saya berkata, aduhh kok
jadi ngerepotin orang.
Tapi nampak dari wajah semuanya, memancarkan wajah
gembira, maklum keluarga pejuang, bagi
beliau-beliau, hal itu bukan beban melainkan anugerah. Tibalah saatnya, semua
peserta Jalan kaki sarapan pagi, maklum jumlahnya ribuan tidak semuanya
kebagian piring, sehingga banyak di antara mereka makan beralaskan daun pisang yang
diambil di kebun Kyai, bahkan banyak pula yang pakai plastik. Mereka tak peduli,
yang penting perut terisi.
Tepat
pukul tujuh, saya umumkan semuanya bersiap-siap berangkat, namun tidak boleh
meninggalkan sampah secuilpun. Sambil berjalan, mereka mereka memungut sampah
serempak, sehingga lingkungan Pondok, bersih nyaris tanpa meninggalkan sampah
sedikitpun. Kyai Maksum berjalan paling depan dekat Mobil komando. Seluruh
santri Cikole, putra putri ikut bersama rombongan dan saya
agak belakangan, dengan maksud menyapu peserta, takut ada yang ketinggalan.
Hebatnya, banyak ibu-ibu yang umurnya sudah di atas 60 tahun, ikut kafilah
mengantar sampai ke perbatasan Tasikmalaya.
Dengan
stamina yang masih segar bugar, kami terus berjalan menyusuri Jalan utama. Selang
beberapa menit, Kyai Titing gabung lagi dan kita
sepakat berjalan pada shaf paling depan untuk memberikan motivasi para santri,
agar tetap semangat. Tiga puluh menit berjalan, sampailah kita di perbatasan
Tasikmalaya. Di sana, sudah banyak sekali masyarakat yang menyambut kami
sepanjang perjalanan plus aneka makanan dan
minuman yang diberikan. Bahkan,
ribuan santri dan anak-anak Sekolah Dasar berbaris berjejer menyemangati kami
dengan pekikan Takbir dan Nasyid Perjuangan. Membuat kami makin semangat berjalan.
Di
daerah Tasik, saya dipeluk seorang Kyai sambil menangis haru. Saya tak kuat
menahan air mata, sehingga kami berpelukan saling mendoakan. Dia berkata, “teruskan
perjuanganmu saudaraku, saya menyusul hari Jum’at. Saya jawab, “mohon
doanya saja….” Sambil salaman, dia mengeluarkan amplop dari saku
bajunya dan mengatakan, “ini tambahan amunisi untuk berjuang…” Makin tak kuat saya merasakan, betapa hebatnya
denyut iman menambah ukhuwah.
Saya
beserta kafilah melangkah dan terus
melangkah. Kedua HP saya terus berbunyi, ketika diangkat, ternyata wartawan dari berbagai media.
Pertanyaannya hampir semuanya sama. Sudah sampai di mana? Berapa jumlah yang
ikut? Saya jawab dengan sabar. Walaupun agak sedikit malas dan pusing, karena
banyaknya yang menghubungi.
Satu
lagi HP berbunyi, begitu dilihat, ternyata guru saya. Saya angkat, Assalamu’alaikum
Uwa….. Guru saya bertanya, bagaimana kondisi santri? Perjalanan sampai
mana? Pertimbangkan kondisi santri, jangan sampai orang tua menyalahkan kita.
Saya hanya menjawab, baik uwa, akan saya musyawarahkan di depan. Hati mulai ada
sedikit bimbang. Tak terasa, perjalanan sudah hampir 4 jam. Akhirnya, sampailah
kita di satu Mesjid daerah Ciawi dekat rumah makan Asep Strawberry.
Kita putuskan untuk istirahat dan sholat. Begitu tiba di mesjid, ternyata,
sudah berkumpul ratusan santri dan Laskar
FPI yang siap bergabung.
Jumlah
peserta makin bertambah. Adzan duhur berkumandang, semua bergegas mengambil
wudhu. Shalat berjamaah Dhuhur dan Ashar dijamak qoshar. Imamnya Kyai Titing.
Selepas shalat, santri dibiarkan dulu istirahat sambil menikmati makanan dan
minuman pemberian masyarakat di sepanjang perjalanan.
Ketika
saya rebahan di teras mesjid sambil ngurut kaki, telpon berbunyi, namanya
muncul Kyai senior Ciamis. Beliau
berkata, “saya kedatangan pa Dandim, mohon santri kembali ke pondok
masing-masing…” Saya jawab, mau dirapatkan dulu. HP ditutup, dan saya meneruskan rebahan.
Tiba-tiba, datang mobil polisi, ternyata belakangan diketahui adalah Kapolresta,
Kapolres dan Dandim Tasikmalaya.
Ketiganya berjalan menuju arah Mesjid. Salah seorang diantara mereka bertanya,
“mana pimpinan rombongan?” Kata yang berbaju loreng. Betul pak saya. Bisa bicara sebentar. Bisa Pak, jawab saya.
Kami
berlima duduk melingkar. Pak Dandim memulai obrolan. Pak Kyai, saya
ditelpon Pangdam agar menjemput santri, untuk pulang ke pondok masing-masing,
bagaimana? Saya melirik Kyai Maksum dan Kyai Titing. Keduanya
memberikan isyarat menyerahkan keputusan kepada saya. Saya agak bingung terdiam
dan menengok ke kanan, ada adik saya yang mengatur peta jalan. “Pung,
gimana lanjut apa pulang?” Sambil melotot dia menjawab, “Jangan
pulang. Nih lihat, pemberitaan Media Sekuler menurunkan ulasan, bahwa pejalan
kaki santri Ciamis tinggal 86 orang. Harus dilawan dengan pakta….”
Papar adik saya.
Saya
pokus lagi mengarah ke pak Dandim. Pak Dandim, saya tidak bisa memutuskan
sendiri. Saya akan tanya santrinya saja. Boleh, kata pak Dandim. Lewat pengeras
suara mesjid, santri disuruh masuk mesjid. Semuanya duduk. Pengarahan dimulai.
Pekikan takbir selalu jadi ucapan penyemangat di setiap waktu. Saya bertanya, “Apakah perjalanan
dilanjut??? Mereka serempak menjawab, “Lanjutttttt….” Masih kuat??? Masihhhhh……. Pertanyaan
dilanjutkan, “Siapa yang mau pulang, berdiriii….” Tak ada satupun yang
berdiri. Siapa yang mau lanjuttt,
dudukkk…... Semuanya duduk. Mereka teriakkan takbir berkali-kali.
Mata saya tak kuat menahan haru, air
matapun meleleh. Tak terasa, tenggorokan serasa ada yang mengganjal, sehingga
bicarapun agak parau saking sangat terharunya..
Saya
berjalan mengelilingi mereka disaksikan Kapolres dan bapak Dandim. Kenapa kalian memilih
lanjut??? Seorang santri yang perawakannya paling ceking mengacungkan tangan
sambil berkata, “Mundur sejengkal adalah mental munafik dan pecundang….”
Disambut takbir bergemuruh. Saya tak kuat lagi bicara, karena suasana mesjid
itu begitu bergema dengan semangat jihad yang menyala-nyala. Mikropon
saya serahkan pada Kyai Maksum, beliau berkata, itulah keputusannya Pak
Dandim. Anak-anak tetap lanjut…..Takbir… Allahu Akbar!!!
Pa Dandim
mengatakan, saya tidak ada hak untuk
melarang hanya memberi saran saja. Kalau itu pilihannya, silahkan jalan.
Hati-hati jaga keselamatan. Baik pak Dandim, mohon doanya saja., timpal saya.
Kami bersalaman dan berpelukan sambil berlinang air mata, sungguh perjalanan
yang penuh dinamika di setiap titiknya.
Semua santri keluar dari mesjid. Mobil komando tetap di depan. Polisi mengawal dan Pak Dandim melambaikan tangan. Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan Gentong yang nanjak dan berkelok. Deru mesin mobil-mobil yang lewat mengerang menanjak, seolah-olah irama musik pengantar para pejuang.
Semua santri keluar dari mesjid. Mobil komando tetap di depan. Polisi mengawal dan Pak Dandim melambaikan tangan. Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan Gentong yang nanjak dan berkelok. Deru mesin mobil-mobil yang lewat mengerang menanjak, seolah-olah irama musik pengantar para pejuang.
Perjalanan
agak melambat karena faktor jalan yang menanjak. Peserta mulai kelihatan ngos-ngosan menghela napas. Air mineral di
mobil komando dibagikan secara berantai kepada peserta longmarch. Semuanya rela
saling berbagi sebotol berdua, sesekali senyum terlempar dari bibir masing-masing
menghilangkan rasa cape. Di jalan satu arah, peserta menepi ke pinggir median
Jalan. Duduk di atas pembatas jalan sambil menikmati indahnya pegunungan di bawah
cuaca yang adem. Saya mendekati peserta yang paling kecil, cape enggak? Sambil ditepuk punggungnya, engga, biasa
aja, jawabnya. Kemana sandalnya? Putus talinya Kang. Udah naik aja ke Mobil, suruh
saya. Engga ah, masih kuat kok. Perasaan
berkecamuk, ada rasa berdosa dengan pemandangan itu. Saya terus berjalan
inpeksi semua peserta. Yang agak parah lecetnya, cepat-cepat ditangani Tim
kesehatan dari Rumah Zakat Yang setia mengikuti di belakang rombongan.
Setengah
jam istirahat, Mobil komando disuruh
berjalan lagi. Perjalananpun dilanjutkan kembali. Untuk menyemangati peserta, saya naik ke mobil komando. Wahai para
santri, memang perjalanan kita masih panjang, tetapi janganlah kalian menghitung jarak
tempuh, ayunkan langkah kaki kalian walau sedikit merangkak dan kita akan
sampai tujuan. Semuanya serempak menyambut dengan takbir sambil mengepalkan tangan ke atas tanda
semangat mereka tidak luntur. HP di saku celana berbunyi, begitu diangkat, seseorang yang mengaku dari IIBF Komunitas Pengusaha Muslim
Indonesia mengatakan, dia dan tiem menunggu rombongan di atas habis tanjakan, kami menyediakan nasi kotak untuk makan sore.
Baik Pak, terima kasih.
Setengah
jam berlalu, sampailah rombongan di daerah
perbatasan Garut, tepatnya di Tugu Selamat Datang. Rombongan istirahat lagi,
karena Dermawan yang menyediakan ribuan nasi kotak sudah standbye dari
tadi. Subhanallah, rizki begitu melimpah ruah datang tidak disangka.
Kalau bukan karena kuasa Allah, tidak mungkin orang terketuk hatinya sedemikian
dahsyat, hingga menyediakan makanan untuk ribuan orang. Ini mutlak pertolongan
Allah. Semua peserta lahap menikmati makan sore di pinggir jalan, karena sejak
pagi, baru saat itu dapat jatah makan lagi.
Satu
jam kita istirahat. Hari itu, matahari
mulai redup. Waktu menunjukan pukul lima sore. Kita berikan komando, perjalanan dilanjutkan
menuju Mesjid Kaum Malangbong. Jalan menurun, masyarakat menyambut berbaris di pinggir jalan sambil berteriak
Takbir. Allahu Akbar…Allahu Akbar…… Tua muda, anak-anak dengan setia menunggu
rombongan kami lewat. Makanan minuman kemasan bertumpuk di pinggir jalan
dibagi-bagikan pada peserta. Subhanallah, saya tak kuat menahan air mata,
begitu dahsyat rekayasa Allah, sampai semua hati ummat tergerak secara spontan.
Ketika
sedang khusyu berjalanan, tiba-tiba ada yang mencegat saya. Langsung merangkul
mencium pipi saya. Awalnya, saya belum ngeuh. Setelah wajahnya
kelihatan, ternyata teman seperjuangan, Kyai Tatang Mustopa Kamal, tokoh
ulama Malangbong. Beliau berlinang air mata menggandeng tangan kami dan ikut
berjalan kurang lebih satu kilometer sebelum mesjid. Subhanallah, begitu kita sampai di mesjid Malangbong,
ribuan orang menyambut kami. Jalan ditutup sementara. Kumandang takbir
berkali-kali terdengar dari masyarakat. Mereka menangis sambil pegang HP
mengambil photo dan memvidoe rombongan kami.
Begitu
masuk halaman mesjid, speaker di menara mesjid terdengar suara Kyai Tatang mengumumkan,
Selamat Datang Kafilah Jihad Ciamis. Selamat datang pembela Agama Allah. Kami
bangga dengan kalian. Kami bangga perjuangan kalian. Ratusan santri
berjejer di teras mesjid melantunkan Shalawat Badar. Tak terasa air mata tumpah
seketika. Yaa Robb, keajaiban apagi lagi yang Engkau perlihatkan pada
kami. Padahal yang kami lakukan bukan apa-apa dan belum seberapa, dibandingkan
dengan perjuangan para Nabi dan para Sahabat. Ibu-ibu yang menyambut
kami, kelihatan girang sekali menyediakan aneka makanan dan minuman. Sepuluh
menit sebelum adzan magrib, semua peserta terkulai lemas di lantai dan
pelataran mesjid, sebahagian pergi ke
belakang berwudhu persiapan sholat magrib.
Tibalah
waktunya adzan magrib, semua peserta
sudah siap melakukan shalat berjamaah. Mesjid penuh sesak sampai luber keluar.
Takbirotul Ihrom, Imam shalat, suaranya merdu menambah suasana perjuangan
semakin kokoh. Beres shalat magrib, Kyai Maksum maju ke depan, untuk mengimami
Isya Jamak Qoshar.
Selepas
berjamaah, saya merebahkan diri di karfet yang empuk. Enak rasanya kalau
langsung tidur. Namun, belum satu menit, banyak orang di sekeliling yang
menunggu. Ditanya satu persatu, ternyata awak media dan para dermawan yang
menanyakan rute dan jumlah peserta longmarch yang tersisa. Mereka siap
koordinasi dengan rekan-rekan untuk menyediakan logistic sepanjang perjalanan.
Saya
mengiyakan dan memghaturkan terima kasih. Tidak banyak bicara, karena rasa
ngantuk yang sangat kuat. Selang beberapa menit, seluruh peserta diumumkan
masuk mesjid. Kita berikan arahan dan spirit. Seperti biasa, pekikan Ista’idduu….
Semua serempak menjawab Labbaikkk…. Takbir…. Allahu Akbar… Allahu Akbar…. Bergemuruh
menggema memenuhi ruangan mesjid.
Tiba-tiba,
di luar terdengar suara gemuruh hujan lebat sekali. Semua terdiam. Saya lanjut
berbicara, lanjut apa cukup sampai di sini??? Lanjutttt….. serempak
mereka menjawab. Tidak takut
hujan??? Tidakkkk……. Tidak takut kedinginan??? Tidakkkk…….. Padahal, waktu itu menunjukkan pukul 19.30.
Akhirnya diputuskan, rombongan tetap lanjut jalan walaupun gelap dan hujan. Semua dianjurkan memakai jas hujan plastik yang telah dibagikan. Mulai lagi kita
berjalan menerobos hujan yang mengguyur ditambah dingin pekatnya malam.
Penasaran? Nantikan kisah selanjutnya,
Bersambung.......
0 komentar
Posting Komentar