Seperti keterangan posting sebelumnya, Mullah Nasruddin hidup semasa akhir kekhalifahan Islam dan mengalami tekanan hidup pasa masa kekuasaan Timur Lenk, yang terkenal kejam, sadis dan sangat berkuasa. Namun dengan kecerdikan dan kecerdasanya, dia berhasil menyelematkan dirinya, bahkan ikut menjadi bagian dari kekuasaan dari Timur Lenk. Walau dalam tekanan, namun Mullah Nasruddin tetap tidak berubah, eksentrik nyentri unik dan nyeleneh...... Berikut petikan kisahnya, semoga terinspirasi.....
Keadilan dan Kelaliman
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Mullah Nasruddin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Mullah Nasruddin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Dan dengan menenangkan diri, Mullah Nasruddin menjawab:
"Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami."
Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.
Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Mullah Nasruddin seekor keledai. Mullah Nasruddin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."
Mullah Nasruddin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Mullah Nasruddin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Mullah Nasruddin.
"Demikianlah," kata Mullah Nasruddin, "Keledaiku sudah bisa membaca."
Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca?"
Mullah Nasruddin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."
"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?"
Mullah Nasruddin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?"
Itik Berkaki Satu
Sekali lagi Mullah Nasruddin diundang Timur Lenk. Mullah Nasruddin ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Mullah Nasruddin sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Mullah Nasruddin membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.
Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Mullah Nasruddin, "Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu, Mullah?"
"Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam."
Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu.
"Lihatlah," kata Mullah Nasruddin puas, "Di sini itik hanya berkaki satu."
Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan.
Tapi Mullah Nasruddin tidak kehilangan akal. "Subhanallah," katanya, "Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki jadi empat dan kemudian terbang juga."
Gelar Timur Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Mullah Nasruddin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.
"Mullah Nasruddin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku?"
Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Mullah Nasruddin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."
* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"
Timur Lenk di Akhirat
Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Mullah Nasruddin soal kekuasaannya.
"Mullah Nasruddin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina?"
Bukan Mullah Nasruddin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan 'semudah' ini.
"Raja penakluk seperti Anda," jawab Mullah Nasruddin, "Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah."
Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. "Betulkah itu, Mullah Nasruddin?"
"Tentu," kata Mullah Nasruddin dengan mantap. "Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir'aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan."
Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.
Harga Timur Lenk di Dunia
Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Mullah Nasruddin soal kekuasaannya.
"Mullah Nasruddin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku?"
Kali ini Mullah Nasruddin menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir.
"Saya taksir, sekitar 100 dinar saja"
Timur Lenk membentak Mullah Nasruddin, "Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya sudah 100 dinar."
"Tepat sekali," kata Mullah Nasruddin. "Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja."
Mullah Nasruddin Pemungut Pajak
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu itu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.
Timur Lenk memerintahkan Mullah Nasruddin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Mullah Nasruddin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Mullah Nasruddin pun dipanggil.
Mullah Nasruddin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.
"Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Mullah Nasruddin?" bentak Timur Lenk. "Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Mullah Nasruddin dengan gaya pejabat.
"Kau berpura-pura gila lagi, Mullah Nasruddin?" Timur Lenk lebih marah lagi. Mullah Nasruddin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."
Mullah Nasruddin Memanah
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Mullah Nasruddin. Karena Mullah Nasruddin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Mullah Nasruddin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.
"Ayo Mullah Nasruddin," kata Timur Lenk, "Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu."
Mullah Nasruddin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Mullah Nasruddin berteriak, "Demikianlah gaya tuan wazir memanah."
Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Mullah Nasruddin berteriak lagi, "Demikianlah gaya tuan walikota memanah."
Mullah Nasruddin Segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Mullah Nasruddin pun berteriak lagi, "Dan yang ini adalah gaya Mullah Nasruddin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja."
Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Mullah Nasruddin.
Referensi: Dari berbagai sumber onlineKeadilan dan Kelaliman
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Mullah Nasruddin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Mullah Nasruddin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :
"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal."
Dan dengan menenangkan diri, Mullah Nasruddin menjawab:
"Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami."
Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.
Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Mullah Nasruddin seekor keledai. Mullah Nasruddin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."
Mullah Nasruddin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Mullah Nasruddin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Mullah Nasruddin.
"Demikianlah," kata Mullah Nasruddin, "Keledaiku sudah bisa membaca."
Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca?"
Mullah Nasruddin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."
"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?"
Mullah Nasruddin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?"
Itik Berkaki Satu
Sekali lagi Mullah Nasruddin diundang Timur Lenk. Mullah Nasruddin ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Mullah Nasruddin sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Mullah Nasruddin membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.
Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Mullah Nasruddin, "Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu, Mullah?"
"Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam."
Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu.
"Lihatlah," kata Mullah Nasruddin puas, "Di sini itik hanya berkaki satu."
Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan.
Tapi Mullah Nasruddin tidak kehilangan akal. "Subhanallah," katanya, "Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki jadi empat dan kemudian terbang juga."
Gelar Timur Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Mullah Nasruddin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.
"Mullah Nasruddin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku?"
Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Mullah Nasruddin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."
* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"
Timur Lenk di Akhirat
Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Mullah Nasruddin soal kekuasaannya.
"Mullah Nasruddin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina?"
Bukan Mullah Nasruddin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan 'semudah' ini.
"Raja penakluk seperti Anda," jawab Mullah Nasruddin, "Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah."
Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. "Betulkah itu, Mullah Nasruddin?"
"Tentu," kata Mullah Nasruddin dengan mantap. "Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir'aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan."
Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.
Harga Timur Lenk di Dunia
Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Mullah Nasruddin soal kekuasaannya.
"Mullah Nasruddin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku?"
Kali ini Mullah Nasruddin menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir.
"Saya taksir, sekitar 100 dinar saja"
Timur Lenk membentak Mullah Nasruddin, "Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya sudah 100 dinar."
"Tepat sekali," kata Mullah Nasruddin. "Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja."
Mullah Nasruddin Pemungut Pajak
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu itu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.
Timur Lenk memerintahkan Mullah Nasruddin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Mullah Nasruddin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Mullah Nasruddin pun dipanggil.
Mullah Nasruddin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.
"Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Mullah Nasruddin?" bentak Timur Lenk. "Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Mullah Nasruddin dengan gaya pejabat.
"Kau berpura-pura gila lagi, Mullah Nasruddin?" Timur Lenk lebih marah lagi. Mullah Nasruddin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."
Mullah Nasruddin Memanah
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Mullah Nasruddin. Karena Mullah Nasruddin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Mullah Nasruddin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.
"Ayo Mullah Nasruddin," kata Timur Lenk, "Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu."
Mullah Nasruddin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Mullah Nasruddin berteriak, "Demikianlah gaya tuan wazir memanah."
Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Mullah Nasruddin berteriak lagi, "Demikianlah gaya tuan walikota memanah."
Mullah Nasruddin Segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Mullah Nasruddin pun berteriak lagi, "Dan yang ini adalah gaya Mullah Nasruddin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja."
Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Mullah Nasruddin.
Pengumuman
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Tarbiyatun Nisaa Bogor, Sekolah berbasis karakter, kesadaran Lingkungan dan Akhlak Islami. Membuka kembali pendaftaran siswa/siswi baru T.A. 2010/2011, untuk tingkat: RA/TKQ-SDIT-SMP-TKQ/TPQ. Dibuka sejak bulan Maret s/d Juni 2010. Dan menerima pendaftaran mahasiswi baru program 1 tahun terampil LPPGTKQ (Lembaga Pengembangan Profesi Guru TK. Al Qur'an). Dibuka sejak Maret s/d April 2010, Kuliah dimulai Bulan Mei 2010.
Hidup harus dijalani dengan penuh semangat dan optimisme, dalam situasi dan kondisi apapun. Baik senang bahagia, atau dalam keadaan sulit terlilit dan terjepit. Dan sosok yang menunjukkan kemampuan itu, salah satunya paforit kita Mullah Nasruddin, sebuah sikap hidup yang bisa dicontoh dan ditiru....
BalasHapusAri si Nasrudin, euweuh beakna carita cerdikna teh nya? Mun aya di Dirjen Pajak jiga Nasrudin, pasti moal aya nu keuna hukuman tah. Bisaan ngabalikeunana...
BalasHapus