Take it easy and live enjoying!!! Seperti itulah prinsip hidup Mullah Nasruddin. Dia tidak memperdulikan kemiskinan dan serba kekurangan yang melilit kehidupannya, namun dijalaninya dengan rasa syukur, ceria dan bahagia, bahkan terkadang mentertawakannya. Sebuah sikap yang didasari kekayaan batin spiritual, sehingga hidup lebih mudah dijalani, tidak mudah mengeluh apalagi putus asa. Inilah gambaran kehidupan seseorang sufi "unik dan nyeleneh" yang sudah masuk ke maqom indahnya hidup dalam kesederhanaan. Harus diakui, kisah-kisah Mullah Nasruddin, walaupun banyak yang menulis dan mengisahkan, namun sepertinya tak bosan untuk terus menerus diapresiasi dengan ragam tafsir yang berwarna-warni. Selamat menikmati, dan semoga terinspirasi.....
Jubah Hitam
Mullah Nasruddin berjalan di jalan raya dengan mengenakan jubah hitam tanda duka, ketika seseorang bertanya, "Mengapa engkau berpakaian seperti ini, Mullah Nasruddin? Apa ada yang meninggal?"
"Yah," kata sang Mullah, "Bisa saja terjadi, tanpa kita diberi tahu."
Kegunaan Tali
Tetangga Mullah Nasruddin ingin meminjam tali jemuran.
"Maaf," kata Mullah Nasruddin, "Aku sedang memakainya untuk mengeringkan lantai"
"Bagaimana mungkin? Mengeringkan lantai dengan tali jemuran?"
"Tidak ada yang sulit, kalau kita sudah punya pikiran untuk tidak meminjamkannya kepada orang lain."
Umur Mullah Nasruddin
"Berapa umurmu, Mullah Nasruddin?"
"Empat puluh tahun."
"Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama."
"Aku konsisten."
Pelayan Raja
Mullah Nasruddin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah?" tanya raja kepada Mullah Nasruddin.
"Teramat baik, Tuanku."
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Mullah Nasruddin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."
Harmoni Buah-Buahan
Mullah Nasruddin bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Mullah Nasruddin merenung.
"Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal, labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar."
Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Mullah Nasruddin yang sedang tidak bersorban.
"Ah. Kurasa aku tahu sebabnya."
Cara Membaca Buku
Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Mullah Nasruddin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya. Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasruddin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Mullah Nasruddin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
"Aku tahu," jawab Mullah Nasruddin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
Hidangan Untuk Baju {1}
Mullah Nasruddin menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan buruk, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Mullah Nasruddin pulang kembali.
Namun tak lama, Mullah Nasruddin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuan Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya.
Tetapi Mullah Nasruddin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, "Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!"
Saat itu pula ia memberikan alasan "Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku."
Hidangan untuk Baju {2}
Mullah Nasruddin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan.
Melihat kerakusan sahabatnya, Mullah Nasruddin mengambil teko berisi air. Diam-dian, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak,
"Hai Mullah Nasruddin, gilakah kau? Masa kantongku kau tuangi air!"
"Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat," jawab Mullah Nasruddin, "Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya."
Penampilan Itu Perlu
Mullah Nasruddin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.
"Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Mullah Nasruddin.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.
Mullah Nasruddin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Mullah Nasruddin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Mullah Nasruddin. Tapi ia terkejut waktu Mullah Nasruddin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."
Sang tetangga menyerbu rumah Mullah Nasruddin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Mullah Nasruddin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."
Tetangganya marah. Ia mengajak Mullah Nasruddin menghadap hakim. Mullah Nasruddin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."
Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.
Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Mullah Nasruddin segera mengadukan halnya pada hakim.
"Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Mullah Nasruddin.
"Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Mullah Nasruddin.
"Apa buktinya?" tanya hakim.
"Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."
Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"
Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus. Namun karena merasa kasihan, setelah selesai sidang, semua barang itupun dikembalikan lagi ke tetangganya.
Relativitas Keju
Setelah bepergian jauh, Mullah Nasruddin tiba kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira,
"Aku punya sepotong keju untukmu," kata istrinya.
"Alhamdulillah," puji Mullah Nasruddin, "Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut."
Tidak lama Mullah Nasruddin kembali pergi. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga.
"Adakah keju untukku?" tanya Mullah Nasruddin.
"Tidak ada lagi," kata istrinya.
Kata Mullah Nasruddin, "Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi."
"Jadi mana yang benar?" kata istri Mullah Nasruddin bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi?"
"Itu tergantung," sambut Mullah Nasruddin, "Tergantung apakah kejunya ada atau tidak."
Satu-Satunya Baju
Mullah Nasruddin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Mullah Nasruddin, beberapa penduduk mengeluh,
"Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan."
Mullah Nasruddin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.
Mullah Nasruddin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Mullah Nasruddin mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut,
"Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!"
Di tengah kegaduhan, dengan tenang Mullah Nasruddin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira.
"Bajuku hanya satu ini," kata Mullah Nasruddin di tengah hujan dan teriakan penduduk, "Bila aku menjemurnya, pasti hujan turun deras!"
Sama Rata Sama Rasa
Seorang filosof menyampaikan pendapat, "Segala sesuatu harus dibagi sama rata."
"Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata seorang pendengar yang skeptik.
"Tapi pernahkah engkau mencobanya?" balas sang filosof.
"Aku pernah," sahut Mullah Nasruddin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan."
"Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya?"
"Hasilnya? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
Kekekalan Massa
Ketika memiliki uang cukup banyak, Mullah Nasruddin membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat ikan yang banyak itu, ia berpikir, "Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-temanku makan di sini."
Ketika malam itu Mullah Nasruddin pulang kembali, ia berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja.
"Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini?"
Istrinya menjawab, "Kucingmu itu, tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus itu!"
Mullah Nasruddin pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata cukup keras,
"Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya? Dan kalau ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya?"
Belajar Kebijaksanaan
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Mullah Nasruddin. Mullah Nasruddin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Mullah Nasruddin dan melihat perilakunya.
Malam itu Mullah Nasruddin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Mullah Nasruddin.
Setelah api besar, Mullah Nasruddin memasak sop. Sop menjadi panas. Mullah Nasruddin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sopnya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Mullah Nasruddin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, itu dia, konsistensi.
Api!
Hari Jum`at itu, Mullah Nasruddin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
"Api! Api! Api!"
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah?"
Mullah Nasruddin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
Teori Keperluan
Mullah Nasruddin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Mullah Nasruddin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Mullah Nasruddin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Mullah Nasruddin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Mullah Nasruddin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
Nasib dan Asumsi
"Apa artinya nasib, Mullah?"
"Asumsi-asumsi."
"Bagaimana?"
"Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib."
Mimpi Relijius
Mullah Nasruddin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius. Tidurlah mereka.
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita:"Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali."
Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."
Mullah Nasruddin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga."
Perusuh Rakyat
Kebetulan Mullah Nasruddin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Mullah Nasruddin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.
"Menjauhlah engkau, hai mullah!" teriak pengawal. (Mullah Nasruddin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya).
"Mengapa?" tanya Mullah Nasruddin.
"Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah!"
"Tapi mengapa rakyat harus menjauh?"
"Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah!"
"Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana?" kata Mullah Nasruddin sambil beranjak dari tempatnya.
Referensi: Dari berbagai sumber
Pengumuman
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Tarbiyatun Nisaa Bogor, Sekolah berbasis karakter, kesadaran Lingkungan dan Akhlak Islami. Membuka kembali pendaftaran siswa/siswi baru T.A. 2010/2011, untuk tingkat: RA/TKQ-SDIT-SMP-TKQ/TPQ. Dibuka sejak bulan Maret s/d Juni 2010. Dan menerima pendaftaran mahasiswi baru program 1 tahun terampil LPPGTKQ (Lembaga Pengembangan Profesi Guru TK. Al Qur'an). Dibuka sejak Maret s/d April 2010, Kuliah dimulai Bulan Mei 2010.
Sepertinya tidak pernah bosan membaca kisah Mullah Nasruddin ini...kadang kita tersenyum kecut, tertawa terbahak-bahak atau haru yang menggelitik...
BalasHapuskisah yang bagus,,,
BalasHapusMullah Nasruddin memang luar biasa yah... jawabannya selalu tidak terduga :)
BalasHapusmaksih Kang Irul ma Mba Lina atas komentnya...Mang betul, Mullah Nasruddin mang unik, nyeleneh, tapi sebenarnya dia orang cerdas. Kaya ilmu dan hikmat
BalasHapusJika sdh baca buku humor Nasruddin..walah...pasti ha ha hi hi lah. Saya punya tuh humor Nasruddin versi English. Seru Pak..
BalasHapusSlm kreatifitas
Mba Sriayu, makasih komentnya ya....wahhh boleh tuh sharing versi Englishnya....biar lebih variatif untuk latihan baca anak-anak...
BalasHapusceritanya lucu dan keren, hahaha....
BalasHapussaking konsistennya sampe-sampe ditanya umur jawabnya tetep konsisten,,,,
ditunggu kunjungan plus comentnya yah!