Nakalnya Remaja Mirisnya Para Orangtua
Kenakalan remaja dalam ragam jenis yang terjadi sekarang, baik yang terjerat lingkaran narkoba, tawuran antar pelajar maupun seks bebas dan pelacuran, seperti fenomena gunung es. Yang muncul terungkap dan diberitakan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik, hanyalah secuil dari begitu menggurita dan dahsyatnya ragam jenis kenakalan remaja di tanah air. Tidak hanya di kota-kota besar, bahkan sudah merasuk ke daerah-daerah perkampungan dan desa-desa terpencil. Termasuk salah satunya adalah fenomena seks bebas dan merebaknya pelacuran di kalangan remaja, terungkap terbuka dalam tayangan Kick Andy (METRO TV, Jumat, 4 Februari 2011, 21:30 WIB). Begitu menyesakkan dada, membuat miris, sedih dan menambah khawatirnya para orangtua tentang fenomena pergaulan para remaja sekarang.
Sebutlah namanya Bunga (18 tahun), remaja putri yang kini berprofesi sebagai pekerja seks komersial diantara kesibukan sekolahnya. Gadis ini pertama kali melakukan hubungan seks saat ia masih kelas satu SMU. Tindakan kebablasan itu ia lakukan dengan pacarnya. Setelah putus dari lelaki yang dipacarinya hanya 7 bulan itu, bukannya menyesal dan berhenti melakukan, ia justru terjerumus menjadi pekerja seks komersial. Meski uang sekolah dan uang jajan dari orang tuanya selalu ada (Bunga tidak tinggal serumah dengan orangtuanya), namun Bunga merasa masih perlu tambahan dalam jumlah cukup besar. Tidak hanya untuk ongkos jalan-jalan atau biaya penampilan ketika bergaul, tetapi juga untuk membeli minuman beralkohol di café-café dan bar tempat nongkrong bersama teman-temannya. Dari mulut ke mulut, jaringan dibangun, seiring makin banyak “klien” menghubunginya, bahkan diantaranya ada yang memiliki jabatan penting di negeri ini.
Sebutlah namanya Bunga (18 tahun), remaja putri yang kini berprofesi sebagai pekerja seks komersial diantara kesibukan sekolahnya. Gadis ini pertama kali melakukan hubungan seks saat ia masih kelas satu SMU. Tindakan kebablasan itu ia lakukan dengan pacarnya. Setelah putus dari lelaki yang dipacarinya hanya 7 bulan itu, bukannya menyesal dan berhenti melakukan, ia justru terjerumus menjadi pekerja seks komersial. Meski uang sekolah dan uang jajan dari orang tuanya selalu ada (Bunga tidak tinggal serumah dengan orangtuanya), namun Bunga merasa masih perlu tambahan dalam jumlah cukup besar. Tidak hanya untuk ongkos jalan-jalan atau biaya penampilan ketika bergaul, tetapi juga untuk membeli minuman beralkohol di café-café dan bar tempat nongkrong bersama teman-temannya. Dari mulut ke mulut, jaringan dibangun, seiring makin banyak “klien” menghubunginya, bahkan diantaranya ada yang memiliki jabatan penting di negeri ini.
Contoh kasus lainnya, petualangan seks bebas Josh Peter, yang kita kenal di dunia entertainment dengan nama Jupiter Fortissimo. Mantan Coverboy sebuah majalah remaja yang terjebak dunia narkoba, kehidupan seks bebas, dan bahkan mengalami disorientasi seksual. Secara terbuka, Josh Peter mengakui saat ia usia 6 tahun pernah mengalami pelecehan seksual oleh orang dekat yang dipercaya ibunya sebagai pengasuhnya. Ibu Josh Peter pun ikut hadir berbagi pengalaman dengan pemirsa di studio tentang kepedihannya, juga bagaimana ia mendampingi anaknya ketika berada dimasa-masa kegelapan hidupnya.
Fakta menyedihkan lainnya, Vera. Remaja putri usia 17 tahun. Dalam kondisi hamil tanpa suami, Vera bertindak sebagai pekerja seks komersial yang mengkoordinir teman-temannya perempuan dibawah umur. Media massa memberitakan Vera sebagai “germo cilik” yang menjajakan teman-temannya pekerja seks yang berusia belia. Padahal saat masih SMP, Vera tergolong seorang siswi cerdas yang menerima beasiswa. Tidak hanya anak atau remaja perempuan saja yang harus selalu dikhawatirkan. Anak dan remaja laki-laki pun, harus mendapat perhatian yang sama. Kita lihat kasus Justin (20 tahun), remaja pria yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial profesional. Mengapa kami katakan demikian? Bahkan untuk menemui ataupun menghubungi dia pun kami harus melalui beberapa lapis perantara yang memang benar-benar kolega Justin. Hal tersebut memang sebagai salah satu pengaman dalam transaksinya. Justin mengakui bahwa profesi yang ia jalani saat ini tentu saja bukan profesi yang ia bayangkan akan ia lakukan.
Tetapi bila mendengar kisah kecilnya, kita menjadi tahu (bukan maklum!) mengapa terjerumus dalam pekerjaan itu? Menurut pengakuannya, saat usianya 5 tahun, Justin kecil dan kawan-kawannya yang kebanyakan berusia remaja (ia selalu berteman dengan kawan-kawan yang usianya lebih dewasa dari usianya), sangat gemar menonton film dewasa. Berbekal pengetahuan dari film-film itulah, ia menjadi sangat berani meng-explorasi diri soal seks. Tak heran, hubungan seksual pertama kali ia lakukan saat ia masih duduk di bangku SD, dan ia lakukan dengan pacarnya seorang gadis kecil kelas 1 SMP. Selepas SMP di Surabaya ia nekat ke Jakarta untuk sekolah SMU, tetapi lingkungan di ibukota justru makin mematangkan imajinasi dan fantasi tentang seks dalam otak remaja pria ini. Ia akui, bahwa profesinya menuntut ia melayani siapapun dan apapun yang diinginkan oleh “klien” yang membutuhkan jasanya. Tidak cuma para wanita dewasa maupun remaja, tetapi justru kini lebih banyak “klien” laki-laki yang menghubunginya.
Hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2007) ataupun BKKBN (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat.
Data hasil riset BKKBN misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah.
Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Hasil senada juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih ke arah kesiapan anak menghadapi masa pubertasnya.
Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB.
Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain. Yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi illegal.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini mungkin hanya salah satu implikasi masalah dari sederet persoalan yang dihadapi anak dan remaja di masa sekarang. Sebab akibat yang ditimbulkan seperti efek domino yang dipicu dari habitat awal dimana seharusnya anak dan remaja ini tumbuh berkembang dengan sehat jasmani maupun rohani, yaitu keluarga dan lingkungan.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan memilukan para remaja ini? Ibu Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, membantu kita melihat persoalan pelik ini. Berangkat dari aktifitas YKB selama 10 tahun, Ibu Elly menjelaskan bagaimana YKB mendata, mengkoleksi, semua laporan-laporan, juga informasi dan berita di media massa, mengenai kasus-kasus penyimpangan dan kekerasan seksual yang dilakukan pada dan oleh anak maupun remaja. Beliau kemudian memberikan pemetaan persoalan bagaimana seharusnya “bencana nasional” yang menimpa generasi muda dan mengancam ketahanan negara ini bisa dicegah maupun di tanggulangi. Bagaimana seharusnya keluarga berperan terutama kedua orang tua harus bertindak? Bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap anak dan remaja di era digital ini? Juga bagaimana seharusnya orangtua menerapkan adaptasi teknologi yang benar dan aman dari racun “pornografi” pada anak-anaknya.
Kalau ini dibiarkan, tak terbayang, bagaimana kehidupan para remaja 5,10 bahkan 20 tahun yang akan datang? Terlepas dari apa dan dari mana penyebab semua ini berawal. Fakta-fakta menyedihkan ini, seperti perilaku seks bebas usia dini, kasus prostitusi anak, pelecehan seksual, kekerasan, trafficking, hendaknya menjadi cermin bagi semua pihak, tidak hanya orangtua, para pendidik, para guru, tetapi juga penyelenggara negara pun harus ikut bertanggung jawab pada pertumbuhan kesehatan fisik maupun mental generasi muda negeri ini. Bagaimana kalau yang mengalami itu adalah putera puteri tercinta kita? Sebuah kenyataan yang perlu kita renungkan!
Referensi: Dari berbagai sumber
Fakta menyedihkan lainnya, Vera. Remaja putri usia 17 tahun. Dalam kondisi hamil tanpa suami, Vera bertindak sebagai pekerja seks komersial yang mengkoordinir teman-temannya perempuan dibawah umur. Media massa memberitakan Vera sebagai “germo cilik” yang menjajakan teman-temannya pekerja seks yang berusia belia. Padahal saat masih SMP, Vera tergolong seorang siswi cerdas yang menerima beasiswa. Tidak hanya anak atau remaja perempuan saja yang harus selalu dikhawatirkan. Anak dan remaja laki-laki pun, harus mendapat perhatian yang sama. Kita lihat kasus Justin (20 tahun), remaja pria yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial profesional. Mengapa kami katakan demikian? Bahkan untuk menemui ataupun menghubungi dia pun kami harus melalui beberapa lapis perantara yang memang benar-benar kolega Justin. Hal tersebut memang sebagai salah satu pengaman dalam transaksinya. Justin mengakui bahwa profesi yang ia jalani saat ini tentu saja bukan profesi yang ia bayangkan akan ia lakukan.
Tetapi bila mendengar kisah kecilnya, kita menjadi tahu (bukan maklum!) mengapa terjerumus dalam pekerjaan itu? Menurut pengakuannya, saat usianya 5 tahun, Justin kecil dan kawan-kawannya yang kebanyakan berusia remaja (ia selalu berteman dengan kawan-kawan yang usianya lebih dewasa dari usianya), sangat gemar menonton film dewasa. Berbekal pengetahuan dari film-film itulah, ia menjadi sangat berani meng-explorasi diri soal seks. Tak heran, hubungan seksual pertama kali ia lakukan saat ia masih duduk di bangku SD, dan ia lakukan dengan pacarnya seorang gadis kecil kelas 1 SMP. Selepas SMP di Surabaya ia nekat ke Jakarta untuk sekolah SMU, tetapi lingkungan di ibukota justru makin mematangkan imajinasi dan fantasi tentang seks dalam otak remaja pria ini. Ia akui, bahwa profesinya menuntut ia melayani siapapun dan apapun yang diinginkan oleh “klien” yang membutuhkan jasanya. Tidak cuma para wanita dewasa maupun remaja, tetapi justru kini lebih banyak “klien” laki-laki yang menghubunginya.
Hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2007) ataupun BKKBN (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat.
Data hasil riset BKKBN misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah.
Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Hasil senada juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih ke arah kesiapan anak menghadapi masa pubertasnya.
Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB.
Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain. Yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi illegal.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini mungkin hanya salah satu implikasi masalah dari sederet persoalan yang dihadapi anak dan remaja di masa sekarang. Sebab akibat yang ditimbulkan seperti efek domino yang dipicu dari habitat awal dimana seharusnya anak dan remaja ini tumbuh berkembang dengan sehat jasmani maupun rohani, yaitu keluarga dan lingkungan.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan memilukan para remaja ini? Ibu Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, membantu kita melihat persoalan pelik ini. Berangkat dari aktifitas YKB selama 10 tahun, Ibu Elly menjelaskan bagaimana YKB mendata, mengkoleksi, semua laporan-laporan, juga informasi dan berita di media massa, mengenai kasus-kasus penyimpangan dan kekerasan seksual yang dilakukan pada dan oleh anak maupun remaja. Beliau kemudian memberikan pemetaan persoalan bagaimana seharusnya “bencana nasional” yang menimpa generasi muda dan mengancam ketahanan negara ini bisa dicegah maupun di tanggulangi. Bagaimana seharusnya keluarga berperan terutama kedua orang tua harus bertindak? Bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap anak dan remaja di era digital ini? Juga bagaimana seharusnya orangtua menerapkan adaptasi teknologi yang benar dan aman dari racun “pornografi” pada anak-anaknya.
Kalau ini dibiarkan, tak terbayang, bagaimana kehidupan para remaja 5,10 bahkan 20 tahun yang akan datang? Terlepas dari apa dan dari mana penyebab semua ini berawal. Fakta-fakta menyedihkan ini, seperti perilaku seks bebas usia dini, kasus prostitusi anak, pelecehan seksual, kekerasan, trafficking, hendaknya menjadi cermin bagi semua pihak, tidak hanya orangtua, para pendidik, para guru, tetapi juga penyelenggara negara pun harus ikut bertanggung jawab pada pertumbuhan kesehatan fisik maupun mental generasi muda negeri ini. Bagaimana kalau yang mengalami itu adalah putera puteri tercinta kita? Sebuah kenyataan yang perlu kita renungkan!
Referensi: Dari berbagai sumber
Mumpung belum terlambat, segera bersikap. Selamatkan mereka, mulai dari diri sendiri, keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat kita. Kalau bukan kita, siapa lagi???
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMemprihatinkan anak zaman sekarang...
BalasHapus