top
down

Kisah Mullah Nasruddin-2

Diposting oleh Tarbiyatun Nisaa - Rabu, 14 April 2010, 21.28 Kategori: - Komentar: 3 komentar

Semakin menarik, ternyata!!! Kisah Mullah Nasruddin sarat dengan muatan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan sekaligus kecerdasan. Walau hidup sederhana dan miskin, namun tidak disikapi dengan keluhan, putus asa dan kekecewaan. Miskin lahiriyah kaya batiniyah, miskin material, kaya spiritual. Kemiskinan dan keserbakekurangan, justru menjadi sajian keindahan, kelucuan dan kearifan. Sebuah nilai hidup yang harus diapresiasi, di tengah kecenderungan hedonisme dan materialisme yang melanda masyarakat kita. Selamat menikmati dan semoga terinspirasi.....

Nilai Kebenaran
Seperti biasanya, Mullah Nasruddin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."
Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran? Kadang-kadang mahal pula?"
"Kalau engkau perhatikan," sahut Mullah Nasruddin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."

Yang Paling Hebat
Salah seorang murid Nasruddin di sekolah bertanya, "Manakah keberhasilan yang paling besar, orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu?"
"Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya," kata Mullah Nasruddin.
"Apa itu?"
"Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya."
Bahasa Kurdi
Tetangga Nasruddin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Mullah Nasruddin. Sebetulnya Mullah Nasruddin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia.
"Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash."
"Bagaimana dengan sop dingin?"
"Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."

Pembeda Jenis Kelamin
Seorang tetangga Nasruddin telah lama bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.
"Kau tahu," katanya pada Nasruddin, "Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan."
Mullah Mullah Mullah Nasruddin senang dengan gurauan itu. Katanya, "Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang perempuan?"

Jatuhnya Jubah
Mullah Nasruddin pulang malam bersama kawan-kawannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Mullah Nasruddin sudah menanti dengan marah. "Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi!" katanya sambil menjewer Mullah Nasruddin. Karena kuatnya, Nasruddin terpelanting dan jatuh menabrak peti. Mendengar suara gaduh, teman-teman Mullah Nasruddin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu, "Ada apa ullah Nasruddin, malam-malam begini ribut sekali?"
"Jubahku jatuh dan menabrak peti," jawab Mullah Nasruddin. "Jubah jatuh saja ribut sekali?"
"Tentu saja," sesal Mullah Nasruddin, "Karena aku masih berada di dalamnya."

Tidak Terlalu Dalam
Telah berulang kali Mullah Nasruddin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Mullah Nasruddin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi -- kita tahu -- menyogok itu diharamkan. Maka Mullah Nasruddin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri. Mullah Nasruddin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Mullah Nasruddin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Mullah Nasruddin.
Mullah Nasruddin kemudian bertanya, "Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?"
Hakim tersenyum lebar. "Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya." Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. "Wah, enak benar mentega ini!"
"Yah," jawab Mullah Nasruddin, "Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam." Dan berlalulah Mullah Nasruddin.

Miskin Dan Sepi
Seorang pemuda baru saja mewarisi kekayaan orang tuanya. Ia langsung terkenal sebagai orang kaya, dan banyak orang yang menjadi kawannya. Namun karena ia tidak cakap mengelola, tidak lama seluruh uangnya habis. Satu per satu kawan-kawannya pun menjauhinya. Ketika ia benar-benar miskin dan sebatang kara, ia mendatangi Mullah Nasruddin. Bahkan pada masa itu pun, kaum wali sudah sering [hanya] dijadikan perantara untuk memohon berkah.
"Uang saya sudah habis, dan kawan-kawan saya meninggalkan saya. Apa yang harus saya lakukan?" keluh pemuda itu.
"Jangan khawatir," jawab Mullah Nasruddin, "Segalanya akan normal kembali. Tunggu saja beberapa hari ini. Kau akan kembali tenang dan bahagia."
Pemuda itu gembira bukan main. "Jadi saya akan segera kembali kaya?"
"Bukan begitu maksudku. Kalu salah tafsir. Maksudku, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kau akan terbiasa menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai kawan."

Terburu-buru
Keledai Mullah Nasruddin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Mullah Nasruddin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Mullah Nasruddin berpegangan di atasnya, ketakutan. Mullah Nasruddin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi. Beberapa kawan Mullah Nasruddin sedang bekerja di ladang ketika melihat Mullah Nasruddin melaju kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka berteriak, "Ada apa Mullah Nasruddin? Ke mana engkau? Mengapa terburu-buru?"
Mullah Nasruddin balas berteriak, "Saya tidak tahu! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku!"

Bersembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga, karena memang tidak ada sesuatupun yang bisa dicuri di rumah itu. Akhirnya, matanya tertuju ke sebuah peti besar di pojok ruangan. Ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang sedang bersembunyi.
“Aha!” kata si pencuri, “Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha...?”
“Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini.”

Referensi: Dari berbagai sumber
Pengumuman
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Tarbiyatun Nisaa Bogor, Sekolah berbasis karakter, kesadaran Lingkungan dan Akhlak Islami. Membuka kembali pendaftaran siswa/siswi baru T.A. 2010/2011, untuk tingkat: RA/TKQ-SDIT-SMP-TKQ/TPQ. Dibuka sejak bulan Maret s/d Juni 2010. Dan menerima pendaftaran mahasiswi baru program 1 tahun terampil LPPGTKQ (Lembaga Pengembangan Profesi Guru TK. Al Qur'an). Dibuka sejak Maret s/d April 2010, Kuliah dimulai Bulan Mei 2010.

3 komentar:

  1. Bila diapresiasi secara mendalam, ternyata kisah Mullah Nasruddin banyak sekali mengandung nilai-nilai kehidupan yang bisa dijadikan teladan: Kejujuran, kesederhanaan, keluguan, kecerdasan dan keceriaan. Semoga menjadi inspirasi .....

    BalasHapus
  2. Wah pantas menjadi teladan bagi kita semua... Sangat jarang dan bahkan tidak ada sekarang yang seperti beliau..

    Tx sobat untuk kisah Nasruddin ini..

    BalasHapus
  3. mkasih kang Rachmat (akhatam.com), cerita legendaris sarat muatan pesan inspiratif, untuk menjalani hidup lebih apresiatif....maju terus, semangatttt.....

    BalasHapus